I.
PENDAHULUAN
Selama siklus
hidup tanaman, mulai dari perkecambahan sampai panen selalu membutuhkan air.
Tidak satupun proses kehidupan tanaman yang dapat bebas dari air. Besarnya
kebutuhan air setiap fase pertumbuhan selama siklus hidupnya tidak sama. Hal ini
berhubungan langsung dengan proses fisiologis, morfologis, dan kombinasi ke dua
faktor di atas dengan faktor-faktor lingkungan.
Kebutuhan air
pada tanaman dapat dipenuhi melalui tanah dengan jalan penyerapan oleh akar.
Besarnya air yang diserap oleh akar tanaman sangat tergantung pada kadar air
tanah dan kondisi lingkungan di atas tanah (Jumin, 1989).
Fungsi air bagi tanaman,
yaitu:
1. Sebagai senyawa utama pembentuk protoplasma,
2. Sebagai senyawa pelarut bagi masuknya mineral-mineral dari
larutan tanah ke tanaman dan sebagai pelarut mineral nutrisi yang akan diangkut
dari satu bagian sel ke bagian sel lain,
3. Sebagai media terjadinya reaksi-reaksi metabolik,
4. Sebagai reaktan pada sejumlah reaksi metabolisme seperti siklus asam
trikarboksilat,
5. Sebagai penghasil hidrogen pada proses fotosintesis,
6. Menjaga turgiditas sel dan berperan sebagai tenaga mekanik
dalam pembesaran sel,
7. Mengatur mekanisme gerakan tanaman seperti membuka dan
menutupnya stomata, membuka dan menutupnya bunga serta melipatnya daun-daun
tanaman tertentu,
8. Berperan dalam perpanjangan sel,
9. Sebagai bahan metabolisme dan produk akhir respirasi, dan
10. Digunakan dalam proses respirasi
(Bachtiar, 2010).
Kehilangan air
pada jaringan tanaman akan menurunkan turgor sel, meningkatkan konsentrasi
makro molekul serta senyawa-senyawa dengan berat molekul rendah, mempengaruhi
membran sel dan potensi aktivitas kimia air dalam tanaman (Mubiyanto, 1997).
Peran air yang sangat penting tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa langsung
atau tidak langsung kekurangan air pada tanaman akan mempengaruhi semua proses
metaboliknya sehingga dapat menurunkan pertumbuhan tanaman.
Respon tanaman
yang mengalami cekaman kekeringan mencakup perubahan ditingkat seluler dan
molekuler seperti perubahan pada pertumbuhan tanaman, volume sel menjadi lebih
kecil, penurunan luas daun, daun menjadi tebal, adanya rambut pada daun,
peningakatan ratio akar-tajuk, sensitivitas stomata, penurunan laju
fotosintesis, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen, perubahan produksi
aktivitas enzim dan hormon, serta perubahan ekspresi gen (Kramer, 1980;
Pennypacker Pugnaire, Serrano dan Pardos, 1990; Mullet dan Whissit, 1996;
Navari-Izzo dan Rascio, 1999; Pugnaire et al, 1999).
Secara umum
tanaman akan menunjukkan respon tertentu bila mengalami cekaman kekeringan.
Respon tanaman terhadap stres air sangat ditentukan oleh tingkat stres yang
dialami dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman. Bila tanaman
dihadapkan pada kondisi kering terdapat dua macam tanggapan yang dapat
memperbaiki status air, yaitu (1) tanaman mengubah distribusi asimilat baru untuk
mendukung pertumbuhan akar dengan mengorbankan tajuk, sehingga dapat meningkatkan
kapasitas akar menyerap air serta menghambat pemekaran daun untuk mengurangi
transpirasi. (2) tanaman akan mengatur derajat pembukaan stomata untuk menghambat
kehilangan air lewat transpirasi (Mansfield dan Atkinson, 1990).
Genangan
berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi,
permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan menyebabkan
kematian akar di kedalaman tertentu dan hal ini akan memacu pembentukan akar
adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan
(Staff Lab Ilmu Tanaman, 2008).
Dampak genangan:
menurunkan pertukaran gas antara tanah dan udara yang mengakibatkan menurunnya
ketersediaan O2 bagi akar, menghambat pasokan O2 bagi
akar dan mikroorganisme (mendorong udara keluar dari pori tanah maupun
menghambat laju difusi). Besarnya kerusakan tanaman sebagai dampak genangan
tergantung pada fase pertumbuhan tanaman. Fase yang peka genangan fase
perkecambahan, fase pembungaan, dan pengisian (Askari, 2007).
Tanaman yang
tergenang dalam waktu singkat akan mengalami kondisi hipoksia (kekurangan O2).
Hipoksia biasanya terjadi jika hanya bagian akar tanaman yang tergenang (bagian
tajuk tidak tergenang) atau tanaman tergenang dalam periode yang panjang tetapi
akar berada dekat permukaan tanah. Jika tanaman tergenang seluruhnya, akar
tanaman berada jauh di dalam permukaan tanah dan mengalami penggenangan lebih panjang
sehingga tanaman berada pada kondisi anoksia (keadaan lingkungan tanpa O2).
Kondisi anoksia tercapai 6−8 jam setelah penggenangan, karena O2 terdesak
oleh air dan sisa O2 dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Pada kondisi tergenang,
kandungan O2 yang tersisa dalam tanah lebih cepat habis bila terdapat
tanaman karena laju difusi O2 di tanah basah 10.000 kali lebih
lambat dibandingkan dengan di udara (Amstrong 1979 dalam Dennis et al. 2000).
Dalam penelitian
Arief Harsono, Tohari, D.Indradewa, dan T.Adisarwanto (2003) menyatakan bahwa
berdasarkan dari beberapa genotipe kacang tanah yang diteliti ternyata genotipe
singa yang paling tahan terhadap cekaman tetapi dibawah 60% kapasitas lapangan
ketahanan antara genotipe tidak berbeda. Genotipe yang tahan kering pada
kondisi tercekam kekeringan mempunyai transpirasi lebih rendah, fotosintesis
lebih tinggi, menggunakan lengas tanah lebih efisien dan mampu memberikan hasil
polong lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe rentan kering.
Menurut
Bacanamwo dan Purcell (1999), kedelai beradaptasi terhadap genangan dengan
mengalokasikan fotosintesis dengan cara mengembangkan akar adventif dan
membentuk aerenkim yang bergantung pada fiksasi N2.
II.
METODE
PRAKTIKUM
A.
Alat
da Bahan
Alat yang
digunakan dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu polibag, penggaris, alat
tulis, dan timbangan analitik. Bahan yang digunakan dalam praktikum yang telah
dilakukan yaitu pupuk N, P, K, tanah, air, benih (kangkung, padi, dan jagung).
B.
Prosedur
Kerja
1. Tanah
yang telah disediakan diambil, kemudian dimasukkan ke dalam polibag yang telah
disediakan,
2. Benih
yang telah disiapkan, dimasukkan kedalam polibag yang telah berisi tanah,
3. Dilakukan
pemupukan setelah 1 minggu, dengan memakai pupuk N, P, dan K,
4. Setelah
itu diberi perlakuan sesuai yang dianjurkan yaitu diberi perlakuan (genangan,
kering, dan normal),
5. Dilakukan
pengamatan setiap minggunya dengan mengamati tinggi tanaman,
6. Setelah
1 bulan tanaman dicabut kemudian ditimbang bobot akar, bobot tajuk, dan bobot
tanamannya.
III.
HASIL
Tabel
1. Tinggi Tanaman
Perlakuan
|
Blok
|
Rerata Perlakuan
|
||
I
|
II
|
III
|
||
PnJk
|
4,53
|
12
|
15,3
|
10,61
|
PnJp
|
12,77
|
14
|
13,5
|
13,23
|
PnJj
|
17,63
|
0
|
22,7
|
13,44
|
PkJk
|
15,1
|
4,83
|
21,8
|
13,91
|
PkJp
|
22,67
|
24,83
|
22
|
23,16
|
PkJj
|
20,5
|
30,16
|
32,2
|
27,62
|
PgJk
|
23,2
|
15,86
|
13,9
|
17,65
|
PgJp
|
23,8
|
24,07
|
12,75
|
20,2
|
PgJj
|
25,5
|
11,17
|
28,3
|
21,65
|
Tabel
2. Bobot Tanaman
Perlakuan
|
Blok
|
Rerata Perlakuan
|
||
I
|
II
|
III
|
||
PnJk
|
0,34
|
0,8
|
1,03
|
0,72
|
PnJp
|
0.01
|
0,74
|
0,1
|
0,28
|
PnJj
|
1,56
|
0
|
2,8
|
1,45
|
PkJk
|
0,63
|
0,04
|
1,6
|
0,75
|
PkJp
|
0,13
|
0,09
|
0,1
|
0,1
|
PkJj
|
0,92
|
0,5
|
2
|
1,14
|
PgJk
|
0,9
|
0,46
|
0,16
|
0,46
|
PgJp
|
0,5
|
0,2
|
0,55
|
0,41
|
PgJj
|
0,26
|
0,73
|
1,05
|
0,73
|
Tabel
3. Bobot Tajuk
Perlakuan
|
Blok
|
Rerata Perlakuan
|
||
I
|
II
|
III
|
||
PnJk
|
0,31
|
0,78
|
0,9
|
0,66
|
PnJp
|
0,08
|
0,72
|
0,1
|
0,3
|
PnJj
|
1,24
|
0
|
2,3
|
1,18
|
PkJk
|
0,58
|
0,03
|
0,9
|
0,5
|
PkJp
|
0,1
|
0,06
|
0,1
|
0,1
|
PkJj
|
0,54
|
0,37
|
1,5
|
0,1
|
PgJk
|
0,77
|
0,36
|
0,96
|
0,7
|
PgJp
|
0,23
|
0,1
|
0,45
|
0,26
|
PgJj
|
0,15
|
0,23
|
0,85
|
0,41
|
Tabel
4. Bobot Akar
Perlakuan
|
Blok
|
Rerata Perlakuan
|
||
I
|
II
|
III
|
||
PnJk
|
0,13
|
0,02
|
0,13
|
0,1
|
PnJp
|
0,02
|
0,02
|
0
|
0,01
|
PnJj
|
0,41
|
0
|
0,5
|
0,3
|
PkJk
|
0,04
|
0,01
|
0,5
|
0,2
|
PkJp
|
0,04
|
0,02
|
0,13
|
0,1
|
PkJj
|
0,31
|
0,1
|
0,16
|
0,2
|
PgJk
|
0,12
|
0,1
|
0,21
|
0,14
|
PgJp
|
0,82
|
0,1
|
0,1
|
0,34
|
PgJj
|
0,11
|
0,5
|
0,2
|
0,27
|
Keterangan:
Pg
(Genangan), Pk (Kering), Pn (Normal), Jk (Kangkung), Jp (Padi), Jj (Jagung).
IV.
PEMBAHASAN
Hasil data
pengamatan yang telah dilakukan dalam praktikum didapatkan hasil rata-rata
tinggi tanaman jagung lebih tinggi dari tanaman kangkung dan padi pada semua
perlakuan (normal, genangan, dan kering) yang telah dilakukan dalam praktikum.
Tetapi bila dihitung rata-rata keseluruhan dari semua komoditas pada tiap
perlakuan, perlakuan kekeringan mempunyai rata-rata tinggi tanaman lebih besar
dari pada rata-rata tinggi tanaman pada perlakuan kekeringan dan normal.
Hasil data
pengamatan pada bobot tanaman secara keseluruhan (padi, jagung, dan kangkung),
tanaman yang diberi perlakuan normal mempunyai rata-rata lebih besar daripada
rata-rata bobot tanaman yang diberi perlakuan kekeringan dan genangan. Tetapi
jika dilihat dari bobot tanaman perkomoditas, tanaman jagung mempunyai
rata-rata paling besar diantara tanaman padi dan kangkung.
Hasil data
pengamatan bobot tajuk rata-rata keseluruhan dari semua perlakuan, perlakuan
yang memiliki bobot tajuk paling besar ialah pada perlakuan normal. Tetapi bila
dilihat rata-rata tiap komoditas, rata-rata yang paling tinggi pada perlakuan
normal ialah jagung. Sedangkan rata-rata paling tinggi pada perlakuan
kekeringan dan genangan dimiliki oleh komoditas kangkung.
Pada data hasil
pengamatan bobot akar, perlakuan genangan memiliki bobot akar lebih besar
daripada bobot akar dalam perlakuan kekeringan dan normal. Sedangkan bobot akar
yang paling besar pada tiap komoditas, komoditas jagung dalam perlakuan normal
lebih besar daripada kangkung, dan padi. Pada perlakuan kekeringan bobot akar
yang memiliki rata-rata paling besar pada komoditas kangkung dan jagung.
Sedangkan pada perlakuan genangan bobot akar paling besar dimiliki komoditas
padi.
Dari hasil data
pengamatan yang sudah dilakukan menunjukkan hasil yang tak sesuai dengan
referensi yang ada. Tanaman yang diberi perlakuan genangan dan kekeringan
seharusnya memiliki bobot tanaman, bobot akar, bobot tajuk, dan tinggi tanaman
yang kurang baik. Tetapi di dalam data pengamatan ada data yang menunjukkan
suatu hasil yang lebih baik dari pada tanaman yang diberi perlakuan normal. Hal
ini kemungkinan adanya suatu kesalahan ketika melakukan pengamatan atau bahkan
tidak telitinya seorang pengamat ketika melakukan pengukuran variabel tersebut.
Perlakuan yang
paling baik menurut saya ketika suatu komoditas diberi perlakuan normal, karena
tanaman tersebut tidak mengalami kondisi stres yang dapat mengurangi bobot
tanaman, dan memperlambat pertumbuhan suatu tanaman yang ada. Di dalam suatu
perlakuan normal air diberikan sesuai dengan keadaan kondisi lapang, yaitu
keadaan dimana tanaman dapat memanfaatkan air tersebut secara baik untuk proses
kehidupannya. Sedangkan pada perlakuan genangan air melimpah tetapi tidak bisa
dimanfaatkan secara maksimal karena tanaman akan mengalami kekurangan oksigen,
dan pada perlakuan kekeringan air yang ada untuk tanaman dalam keadaan
kekurangan yang tidak bisa dimanfaatkan tanaman secara maksimal.
Tanaman yang
mampu beradaptasi pada kondisi tergenang dicirikan oleh kemampuan mengatasi
stres dengan membentuk aerenkim, meningkatkan gula yang dapat larut,
memperbanyak aktivitas glikolitik dan enzim fermentasi serta mekanisme
ketahanan antioksidan untuk mengatasi kondisi setelah hipoksia dan anoksia (Sairam
et al, 2008).
Ketahanan
tanaman terhadap genangan dapat berupa penghindaran kekurangan oksigen dari
daun ke akar, dan kemampuan tanaman untuk melakukan metabolisme atau dengan
kata lain pada kondisi tersebut respirasi berlangsung secara anaerob. Dalam kondisi
tergenang tanaman akan mengaktifkan proses fermentasi utama yaitu etanol, asam
laktat yang akan membentuk alanin dari glutamat dan piruvat.
Tanaman yang
tergenang menunjukkan gejala klorosis khas kahat N. Kekahatan N terjadi karena
penurunan ketersediaan N maupun penurunan penyerapannya. Pada kondisi tergenang
ketersediaan N dalam bentuk nitrat sangat rendah karena proses denitrifikasi,
nitrat diubah menjadi N2, NO, N2O, atau NO2
yang menguap ke udara. Pada proses denitrifikasi, nitrat digunakan oleh bakteri
aerob sebagai penerima elektron dalam proses respirasi.
Genangan
berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi,
permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan menyebabkan
kematian akar di kedalaman tertentu, hal ini akan memacu pembentukan akar
adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan.
Kematian akar menjadi penyebab kekahatan N dan cekaman kekeringan fisiologis.
Respons tanaman
terhadap kekeringan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tanaman yang
menghindari kekeringan (drought avoiders) dan tanaman yang mentoleransi
kekeringan (drought tolerators). Tanaman yang menghindari kekeringan
membatasi aktivitasnya pada periode air tersedia maksimum antara lain dengan
meningkatkan jumlah akar dan modifikasi struktur dan posisi daun. Tanaman yang
mentoleransi kekeringan mencakup penundaan dehidrasi atau mentoleransi
dehidrasi. Penundaan dehidrasi mencakup peningkatan sensivitas stomata dan
perbedaan jalur fotosintesis, sedangkan toleransi dehidrasi mencakup
penyesuaian osmotik.
Tumbuhan merespon kekurangan air
dengan mengurangi laju transpirasi untuk penghematan air. Terjadinya kekurangan
air pada daun akan menyebabkan sel-sel penjaga kehilangan turgornya. Suatu mekanisme
kontrol tunggal yang memperlambat transpirasi dengan cara menutup stomata.
Kekurangan air juga merangsang peningkatan sintesis dan pembebasan asam absisat
dari sel-sel mesofil daun. Hormon ini membantu mempertahankan stomata tetap
tertutup dengan cara bekerja pada membrane sel penjaga. Daun juga merespon
terhadap kekurangan air dengan cara lain. Karena pembesaran sel adalah suatu
proses yang tergantung pada turgor, maka kekurangan air akan menghambat
pertumbuhan daun muda. Respon ini meminimumkan kehilangan air melalui
transpirasi dengan cara memperlambat peningkatan luas permukaan daun. Ketika
daun dari kebanyakan rumput dan kebanyakan tumbuhan lain layu akibat kekurangan
air, mereka akan menggulung menjadi suatu bentuk yang dapat mengurangi transpirasi
dengan cara memaparkan sedikit saja permukaan daun ke matahari (Campbell,
2003).
V. KESIMPULAN
Dari data hasil pengamatan yang
telah dilakukan pada saat praktikum, tanaman jagung adalah komoditas yang
memiliki tingkat respon yang lebih tinggi terhadap lingkungannya daripada
komoditas padi dan kangkung.
Genangan
berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi,
permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan menyebabkan
kematian akar di kedalaman tertentu, hal ini akan memacu pembentukan akar
adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan.
Kematian akar menjadi penyebab kekahatan N dan cekaman kekeringan fisiologis.
Tumbuhan merespon kekurangan air
dengan mengurangi laju transpirasi untuk penghematan air. Terjadinya kekurangan
air pada daun akan menyebabkan sel-sel penjaga kehilangan turgornya. Kekurangan
air juga merangsang peningkatan sintesis dan pembebasan asam absisat dari
sel-sel mesofil daun.
DAFTAR
PUSTAKA
Bacanamwo,
M. And L.C. Purcell. 1999. Soybean Root
Morfological and Anatomical Traits Associated with Acclimation to Flooding.
Crop Sci. 39: 143-149.
Harsono,
A., Tohari. D.I., dan T. Adisarwanto. 2003. Ketahanan dan Aktifitas Fisiologi
Genotipe Kacang Tanah Pada Cekaman Kekeringan. (On-line). Available at : http://agrisci.ugm.ac.id/vol10_2/6_Harsono_kcngtnh.pdf diakses 16 Juni 2012.
Mansfield.,
T.A. and C. J. Atkinson. 1990. Stomatal behavior in water stressed plants. P.
241-246. In Alscher ang Cumming (Ed.). Stress respons in plant: adaptation and
acclimation mechanisms. Wiley-Liss, Inc., New York.
Mubiyanto,
B.M. 1997. Tanggapan tanaman kopi
terhadap cekaman air. Warta Puslit Kopi dan Kakao 13(2): 83-95.
Sairam,
R.K., D. Kamutha, K. Ezhilmathi, P.S. Deshmukh, and G.C. Srivastava. 2008. Phisiology and Biochemistry of Water Logging
Tolerance in Plants. Biol Plant (52): 401-412.
I.
PENDAHULUAN
Pemupukan
menurut pengertian khusus ialah pemberian bahan yang dimaksudkan untuk
menyediakan hara bagi tanaman. Umumnya pupuk diberikan dalam bentuk padat atau
cair melalui tanah dan diserap oleh akar tanaman. Namun pupuk dapat juga
diberikan lewat permukaan tanaman, terutama daun (Yuwono, 2010).
Klasifikasi
pupuk dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:
1. Atas
dasar pembentukannya yang terdiri dari
a. Pupuk
Alam
Pupuk
alam diantaranya terdiri dari pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, dan guano.
b. Pupuk
Buatan
Pupuk
buatan adalah pupuk yang dibuat di pabrik-pabrik yang mengandung unsur hara
tertentu, yang pada umumnya mempunyai kadar unsur hara yang tinggi.
Kelebihan
pupuk buatan yang dibuat pabrik, antara lain:
1) Lebih
mudah menentukan jumlah pupuk yang diperlukan dengan kebutuhan tanaman,
2) Hara
yang diberikan dalam bentuk cepat tersedia,
3) Dapat
diberikan pada saat yang lebih tepat, dan
4) Pemakaian
dan pengangkutannya lebih murah karena kadar haranya tinggi.
Kelemahan
pupuk buatan yang dibuat pabrik, antara lain:
1) Bila
tidak dengan perhitungan dalam pemakaiannya, maka penggunaannya akan merusak
lingkungan, dan
2) Umumnya
tidak atau sedikit mengandung unsur mikro, dan hanya unsur tertentu saja yang
mempunyai konsentrasi tinggi.
2. Berdasarkan
kandungan unsur haranya, maka pupuk dapat dibagi ke dalam beberapa golongan,
yaitu:
a. Pupuk
Tunggal, yaitu pupuk yang mengandung satu jenis hara tanaman.
b. Pupuk
Majemuk, yaitu pupuk yang mengandung lebih dari satu unsur hara tanaman,
seperti gabungan antara N, dan P atau P dan K.
c. Pupuk
Kalsium dan Magnesium yang biasanya penggunaannya dipakai sebagai unsur kapur
karena aspek praktisnya disamping sebagai pupuk sering digunakan dalam usaha
pengapuran.
3. Berdasarkan
susunan kimiawinya dapat digolongkan menjadi 2, yaitu:
a) Pupuk
Organik
Pupuk
organik adalah merupakan hasil ahir atau hasil-hasil antara dari perubahan atau
peruraian bagian-bagian/sisa tumbuhan dan hewan.
b) Pupuk
Anorganik
Pupuk
anorganik adalah pupuk yang dibuat di pabrik (pupuk buatan).
Pupuk kandang
terdiri dari dua komponen asli, yaitu padat dan cair dengan perbandingan
rata-rata 3:1. Bagian padat rata-rata mengandung lebih 50% N, hampir semua P dan
K lebih kurang 3/5. Tetapi karena ketersediaan hara dari bagian cair lebih
cepat maka nilainya dari segi pertanian hampir sama.
Tabel
1. Presentase Kadar Hara Dalam Bagian Padat dan Cair dari Pupuk Kandang
Bagian Pupuk
|
N total (%)
|
P total (%)
|
K total (%)
|
Kotoran Padat
Kotoran Cair
|
55
45
|
100
sedikit
|
65
35
|
Total
|
100
|
100
|
100
|
Kadar rata-rata
unsur hara dalam pupuk kandang sangat bervariasi. Keadaan keragaman ini
disebabkan beberapa faktor, antara lain:
a. Macam
atau jenis hewan,
b. Umur
dan keadaan individu hewan,
c. Makanan
yang dimakan hewan/pemeliharaan hewan,
d. Bahan
amparan,
e. Cara
pengelolaan dan penyimpanan pupuk kandang
sebelum dipakai.
Tabel 2. Kadar Rata-rata Unsur Hara yang Terdapat
dalam Pupuk Kandang
Jenis Hewan
|
Bentuk Kotoran
|
H2O (%)
|
N (%)
|
P2O5 (%)
|
K2O (%)
|
Kuda
|
Padat
|
75
|
0,55
|
0,30
|
0,40
|
Cair
|
90
|
1,35
|
Sedikit
|
1,25
|
|
Keseluruhan
|
78
|
0,70
|
0,25
|
0,55
|
|
Sapi
|
Padat
|
85
|
0,40
|
0,20
|
0,10
|
Cair
|
92
|
1,00
|
Sedikit
|
1,35
|
|
Keseluruhan
|
86
|
0,60
|
0,15
|
0,45
|
|
Domba
|
Padat
|
60
|
0,75
|
0,50
|
0,45
|
Cair
|
85
|
1,35
|
0,05
|
2,10
|
|
Keseluruhan
|
68
|
0,95
|
0,35
|
1,00
|
|
Babi
|
Padat
|
80
|
0,55
|
0,50
|
0,40
|
Cair
|
97
|
0,40
|
0,10
|
0,40
|
|
Keseluruhan
|
87
|
0,50
|
0,35
|
0,40
|
|
Ayam
|
Keseluruhan
|
55
|
1,00
|
0,80
|
0,40
|
Dari
tabel diatas terlihat kadar hara yang terdapat didalam pupuk kandang sangat
beragam. Oleh karena itu untuk keperluan perhitungan telah ditetapkan suatu
kesimpulan bahwa hara yang terdapat di dalam pupuk kandang berkadar rata-rata
0,50% N, 0,25% P2O5, dan 0,5% K2O (Hakim et
al., 1986).
II.
METODE
PRAKTIKUM
A.
Alat
dan Bahan
Alat yang
digunakan dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu polibag, penggaris, alat
tulis, dan timbangan analitik. Bahan yang digunakan dalam praktikum yang telah
dilakukan yaitu pupuk kandang dengan perbandingan (1 tanah : 1 kandang, dan 2
tanah : 1 kandang), tanah, air, benih (kangkung, padi, dan jagung).
B.
Prosedur
Kerja
1. Tanah
yang telah disediakan diambil, tanah tersebut telah dicampur pupuk kandang
dengan perbandingan 1 tanah : 1 kandang, 2 tanah : 1 kandang, dan kontrol
(tanpa perlakuan),
2. Campuran
tanah dengan pupuk kandang dimasukkan ke dalam polibag yang telah disediakan,
3. Benih
yang telah disiapkan, dimasukkan kedalam polibag yang telah berisi tanah,
4. Dilakukan
pemupukan setelah 1 minggu, dengan memakai pupuk N, P, dan K,
5. Dilakukan
pengamatan setiap minggu, dengan mengamati tinggi tanaman, dan
6. Setelah
1 bulan tanaman dicabut kemudian ditimbang bobot akar, bobot tajuk, dan bobot
tanamannya.
III.
HASIL
Tabel
1. Tinggi Tanaman
Perlakuan
|
Blok
|
Rerata Perlakuan
|
||
I
|
II
|
III
|
||
K0Jk
|
12,5
|
13,7
|
17,98
|
14,73
|
K0Jp
|
23,8
|
24,67
|
19,07
|
22,51
|
K0Jj
|
45,5
|
29,83
|
33,83
|
36,39
|
K1Jk
|
13,2
|
15,5
|
23,5
|
17,4
|
K1Jp
|
21,6
|
28,13
|
24,83
|
24,85
|
K1Jj
|
39,2
|
32,5
|
16,83
|
29,51
|
K2Jk
|
10,7
|
19,66
|
16,15
|
15,50
|
K2Jp
|
26,7
|
33,69
|
8,25
|
22,88
|
K2Jj
|
29
|
37,5
|
29,67
|
32,06
|
Tabel
2. Bobot Tanaman
Perlakuan
|
Blok
|
Rerata Perlakuan
|
||
I
|
II
|
III
|
||
K0Jk
|
0,4
|
0,5
|
0,54
|
0,48
|
K0Jp
|
0,23
|
0,2
|
0,397
|
0,28
|
K0Jj
|
3,7
|
1,63
|
1,1
|
2,14
|
K1Jk
|
0,93
|
1,33
|
0,93
|
1,06
|
K1Jp
|
0,37
|
0,26
|
0,16
|
0,26
|
K1Jj
|
2,87
|
2,03
|
0,43
|
1,78
|
K2Jk
|
0,9
|
1,3
|
0,64
|
0,95
|
K2Jp
|
0,23
|
0,43
|
0,217
|
0,29
|
K2Jj
|
2,27
|
2,9
|
1,67
|
2,28
|
Tabel
3. Bobot Akar
Perlakuan
|
Blok
|
Rerata Perlakuan
|
||
I
|
II
|
III
|
||
K0Jk
|
0,1
|
0,1
|
0,1
|
0,1
|
K0Jp
|
0,1
|
0,1
|
0,33
|
0,18
|
K0Jj
|
0,75
|
0,43
|
0,4
|
0,53
|
K1Jk
|
0,1
|
0,1
|
0,06
|
0,09
|
K1Jp
|
0,43
|
0,1
|
0,06
|
0,20
|
K1Jj
|
0,37
|
0,43
|
0,16
|
0,32
|
K2Jk
|
0,1
|
0,1
|
0,84
|
0,35
|
K2Jp
|
0,07
|
0,13
|
0,067
|
0,09
|
K2Jj
|
1,7
|
1,2
|
0,37
|
1,09
|
Tabel
4. Bobot Tajuk
Perlakuan
|
Blok
|
Rerata Perlakuan
|
||
I
|
II
|
III
|
||
K0Jk
|
0,3
|
0,4
|
0,53
|
0,41
|
K0Jp
|
0,13
|
0,1
|
0,067
|
0,10
|
K0Jj
|
2,95
|
1,2
|
0,7
|
1,62
|
K1Jk
|
0,83
|
1,23
|
2,6
|
1,55
|
K1Jp
|
0,27
|
0,16
|
0,1
|
0,18
|
K1Jj
|
2,5
|
1,6
|
0,26
|
1,45
|
K2Jk
|
0,8
|
1,2
|
0,54
|
0,85
|
K2Jp
|
0,16
|
0,3
|
0,14
|
0,2
|
K2Jj
|
0,57
|
1,76
|
1,14
|
1,16
|
Keterangan:
K0
(Non Pupuk), K1 (1 Tanah : 1 Pupuk Kandang), K2 (2 Tanah : 1 Pupuk Kandang), Jk
(Kangkung), Jp (Padi), Jj (Jagung).
IV.
PEMBAHASAN
Dari hasil
pengamatan yang telah kami lakukan didapatkan suatu hasil pengukuran tinggi
tanaman, bobot tanaman, bobot akar, dan bobot tajuk. Hasil pengukuran tinggi
tanaman pada komoditas jagung, padi, dan kangkung menunjukkan suatu hasil bahwa
pada tanaman jagung yang dilakukan pemupukan dengan perbandingan 2 tanah : 1
pupuk kandang menunjukkan hasil yang lebih baik yaitu tinggi rata-ratanya 32,06
daripada dengan pemupukan dengan perbandingan 1 tanah : 1 pupuk kandang yaitu
tinggi rata-rata 29,51. Sedangkan pada kontrol menunjukkan hasil yang paling
baik diantara semua perlakuan yang ada yaitu tinggi rata-rata 36,39. Komoditas
tanaman kedua yang memberi respon terhadap perlakuan pemupukan adalah padi,
sedangkan pada kangkung tidak menunjukkan respon yang nyata pada pemberian
pupuk.
Pada bobot
tanaman didapatkan suatu hasil yang berbeda pula antara tanaman yang diberi
perlakuan pemupukan 2 tanah : 1 pupuk kandang, pemupukan 1 tanah : 1 pupuk
kandang, dan kontrol tanpa perlakuan. Bobot yang paling tinggi ada pada
perlakuan pemupukan 2 tanah : 1 pupuk kandang pada komoditas jagung yaitu
dengan bobot rata-rata 2,28, pada perlakuan ini didapatkan hasil bobot tanaman
yang tidak berbeda pula dengan tanaman yang tidak diberi perlakuan (kontrol)
dengan bobot rata-rata 2,14, sedangkan pada perlakuan pemupukan 1 tanah : 1 pupuk
kandang menunjukkan hasil bobot yang lebih rendah dengan bobot rata-rata 1,78.
Pada tanaman
jagung diperoleh bobot akar dan bobot tajuk yang lebih besar daripada tanaman
padi dan kangkung, bobot akar dan bobot tajuk yang besar ini diperoleh dari
perlakuan pemupukan 2 tanah : 1 pupuk kandang. Sedangkan pada perlakuan
pemupukan 1 tanah : 1 pupuk kandang dan kontrol selisih rata-ratanya tidak
terlalu besar.
Hasil penelitian
dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian menunjukkan bahwa tidak terdapat
pengaruh nyata pemberian bahan organik pupuk kandang terhadap tinggi tanaman.
Namun, secara rata-rata terlihat kecenderungan bahwa makin banyak bahan organik
diberikan maka tinggi tanaman semakin tinggi. Pengaruh pemberian bahan organik
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, diduga disebabkan oleh unsur hara yang
dibutuhkan bagi tanaman untuk pertumbuhan tinggi tanaman tersedia cukup dalam
tanah. Keseimbangan unsur dalam tanah memegang peranan penting dalam pembelahan
sel dan untuk perkembangan jaringan meristematik tanaman (Misran, 2009).
Perlakuan yang
paling baik ialah tanaman yang diberi perlakuan pemupukan, hal ini membantu
dalam menyuplai unsur hara bagi tanaman tersebut. Tetapi pada pemberian pupuk
kandang memiliki suatu kelebuhan dan kelemahan yaitu:
1. Lebih
lambat bereaksi, karena sebagian besar zat-zat makanan harus mengalami berbagai
perubahan terlebih dahulu sebelum diserap tanaman,
2. Pupuk
kandang mempunyai ketidak seimbangan pada unsur Phospor, phospor yang diberikan
ke dalam tanah tidak semuanya akan segera diserap oleh tanaman. Oleh karena
itu, selalu disarankan dalam penggunaan pupuk kandang harus diikuti dengan
pemupukan TSP dan P buatan lainnya.
3. Mempunyai
efek residu, yaitu haranya dapat secara berangsur menjadi bebas dan tersedia
bagi tanaman,
4. Dapat
memperbaiki struktur dan menambah bahan organik tanah (Hakim, 1986).
V.
KESIMPULAN
Pemberian pupuk
kandang dalam praktikum yang telah kami lakukan tidak menunjukkan suatu hasil
yang berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini karena sifat pupuk kandang yang lebih
lambat bereaksi, karena sebagian besar zat-zat makanan harus mengalami berbagai
perubahan terlebih dahulu sebelum diserap tanaman. Padahal dalam kenyataannya
jika tanaman diberi pupuk kandang yang telah terdekomposisi baik dan menyatu
dengan tanah, pertumbuhan tanaman akan lebih baik daripada tanaman yang tidak
diberikan perlakuan apapun.
DAFTAR
PUSTAKA
Hakim,
N., M. Yusuf. N., A. M. Lubis., Sutopo. G. N., M. Amin, D., Go B. H., dan H. H
Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.
Universitas Lampung, Lampung.
Misran.
2009. Respon Tanaman Jagung Terhadap
Pemberian Bahan Organik Di Lahan Sawah Tadah Hujan. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian, Sumatra Barat.
Yuwono,
N. W. 2010. Pengertian Pemupukan. (On-line).
http://nasih.wordpress.2010/11/02/Pengertian-pemupukan/ diakses
18 Juni 2012.
I.
PENDAHULUAN
Potensial
Hidrostatik (pH) tanah merupakan ukuran keasaman atau kebasaan dalam tanah. pH
didefinisikan sebagai logaritma negatif dari aktivitas ion hidrogen (H+)
dalam larutan. Hal ini berkisar dari 0 sampai dengan 14 dengan 7 menjadi netral
(Anonim, 2012).
Sifat reaksi
tanah dan kaitannya dengan pH. Reaksi tanah yang penting adalah masam, netral,
dan alkalin (basa). Pernyataan ini didasarkan pada jumlah ion H dan OH dalam
larutan tanah. Bila dalam tanah ditemukan ion H lebih banyak dari OH, maka
disebut Masam. Bila ion OH sama
dengan ion H maka disebut Netral.
Sedangkan jika OH lebih banyak daripada ion H disebut Alkalin (Basa).
Untuk
menyeragamkan pengertian, sifat reaksi tersebut dinilai berdasarkan konsentrasi
ion H dan dinyatakan dengan pH. Dengan kata lain, pH tanah = - log (H) tanah.
Suatu tanah disebut masam bila pH-nya kurang dari 7, netral bila sama dengan 7,
dan basa bila lebih dari 7. Bila konsentrasi ion H bertambah maka pH turun,
sebaliknya bila konsentrasi ion OH bertambah pH naik. Distribusi ion H dalam
tanah tidak homogen, ion H lebih banyak dijerap daripada ion OH, maka ion H
lebih pekat didekat permukaan koloid, sedangkan ion OH sebaliknya. Dengan
demikian pH lebih rendah di dekat koloid daripada tempat yang jauh dari koloid.
Pertumbuhan
tanaman dipengaruhi pH tanah melalui dua cara, yaitu:
1. Pengaruh
langsung ion hidrogen
2. Pengaruh
tidak langsung ion hidrogen
Pengaruh tidak langsung
yakni tidak tersedianya unsur hara tertentu dan adanya unsur-unsur yang
beracun.
Perbedaan-perbedaan
pH yang dikehendaki masing-masing tanaman diduga karena adanya perbedaan
toleransi dari tanaman-tanaman terhadap kepekatan ion H atau ion beracun
lainnya.
Faktor yang
mempengaruhi pH tanah, yaitu:
1. Kejenuhan
Basa
Kejenuhan
basa adalah perbandingan antara kation basa dengan jumlah kation yang dapat
dipertukarkan pada koloid tanah. Kejenuhan basa mencerminkan perbandingan
kation basa dengan kation hidrogen dan alumunium. Kejenuhan basa 100%
mencerminkan pH tanah yang netral, kurang dari itu mengarah ke pH tanah masam,
sedangkan lebih dari itu mengarah ke basa.
2. Sifal
Koloid (misel)
Sifat
koloid yang berbeda-beda dalam mendisosiasikan ion H terjerap menyebabkan pH
tanah berbeda pada koloid yang berbeda, walaupun kejenuhannya sama. Koloid
organik mudah mendisosiasikan ion H ke dalam larutan tanah. Oleh karena itu pH
tanah organik lebih rendah daripada tanah mineral pada kejenuhan basa yang sama.
3. Macam
Kation yang Terjerap
Koloid
yang mengandung Na lebih tinggi, mempunyai nilai pH lebih tinggi pula pada kejenuhan
basa yang sama. Hal ini sering sekali kita temukan pada tanah beriklim kering
yang kaya Na. Kejadian ini diduga disebabkan oleh koloid yang kaya Na sukar
mendisosiasikan ion H, sehingga sumbangan ion H rendah sekali ke dalam larutan
tanah (Hakim et al., 1986).
Potensial
Hidrostatik (pH) tanah yang optimal bagi pertumbuhan kebanyakan tanaman adalah
antara 5,6-6,0. Pada tanah pH lebih rendah dari 5.6 pada umumnya pertumbuhan
tanaman menjadi terhambat akibat rendahnya ketersediaan unsur hara penting
seperti fosfor dan nitrogen. Bila pH lebih rendah dari 4.0 pada umumnya terjadi
kenaikan Al3+ dalam larutan tanah yang berdampak secara fisik
merusak sistem perakaran terutama akar-akar muda, sehingga pertumbuhan tanaman
menjadi terhambat.
Selain
itu pH tanah rendah memungkinkan terjadinya hambatan terhadap pertumbuhan
mikroorganisme yang bermanfaat bagi proses mineralisasi unsur hara seperti N
dan P dan mikroorganisme yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, misalnya
bakteri tanah yang dapat bersimbiosis degan leguminosae seperti Rhizobium atau bersimbiosis dengan
tanaman non leguminosae seperti Frankia
sehingga sering dijumpai daun-daun tanaman pada tanah asam mengalami khlorosis
akibat kekurangan N. Bakteri tanah yang lain seperti Azotobakter (A. chroococcum
) yang dapat berasosiasi dengan akar tanaman hanya dapat hidup apabila suasana
larutan tanah netral hingga basa. Mikroorganisme tanah lain yang bermanfaat
bagi tanaman yang dapat terpengaruh pertumbuhannya bila berada pada suasana
asam adalah mikoriza. Mikoriza adalah jamur yang dapat melarutkan fosfor
organik menjadi fosfor anorganik yang tersedia bagi tanaman.
Sebaliknya
bila tanah bersuasana basa (pH > 7) biasanya tanah tersebut kandungan
kalsiumnya tinggi, sehingga terjadi fiksasi terhadap fosfat dan tanaman makanan
ternak pada tanah basa seringkali mengalami defisiesi P (Kafein4U, 2010).
II.
METODE
PRAKTIKUM
A.
Alat
dan Bahan
Alat yang
digunakan dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu polibag, penggaris, alat
tulis, dan timbangan analitik. Bahan yang digunakan dalam praktikum yang telah
dilakukan yaitu pupuk N, P, K, tanah, air, benih (kangkung, padi, dan jagung).
B.
Prosedur
Kerja
1. Tanah
yang telah disediakan diambil, kemudian dimasukkan ke dalam polibag yang telah
disediakan,
2. Benih
yang telah disiapkan, dimasukkan kedalam polibag yang telah berisi tanah,
3. Dilakukan
pemupukan setelah 1 minggu,
4. Setelah
itu diberi perlakuan sesuai yang dianjurkan yaitu diberi perlakuan dengan
menggunakan tanah (basa, masam, dan salin),
5. Dilakukan
pengamatan setiap minggunya dengan mengamati tinggi tanaman,
6. Setelah
1 bulan tanaman dicabut kemudian ditimbang bobot akar, bobot tajuk, dan bobot
tanamannya.
III.
HASIL
Tabel
1. Tinggi Tanaman
Perlakuan
|
Blok
|
Rerata Perlakuan
|
||
I
|
II
|
III
|
||
P0Jk
|
12,7
|
8
|
9
|
9,9
|
P0Jp
|
30,78
|
35
|
7,6
|
24,46
|
P0Jj
|
43,5
|
17,9
|
13,2
|
24,87
|
P1Jk
|
0
|
5,57
|
1
|
2,19
|
P1Jp
|
0
|
7,3
|
3,4
|
3,57
|
P1Jj
|
0
|
0
|
6,8
|
2,27
|
P2Jk
|
21,8
|
4,1
|
11,7
|
12,53
|
P2Jp
|
34,5
|
5,1
|
9,5
|
16,37
|
P2Jj
|
19,9
|
5,25
|
15
|
13,38
|
Tabel
2. Bobot Akar
Perlakuan
|
Blok
|
Rerata Perlakuan
|
||
I
|
II
|
III
|
||
P0Jk
|
0
|
0,04
|
0,26
|
0,1
|
P0Jp
|
0
|
17,9
|
0,02
|
5,97
|
P0Jj
|
0,5
|
0,49
|
0,13
|
0,37
|
P1Jk
|
0
|
0,1
|
0,03
|
0,04
|
P1Jp
|
0
|
0
|
0,03
|
0,01
|
P1Jj
|
0
|
0
|
0,16
|
0,05
|
P2Jk
|
0
|
0,4
|
0,06
|
0,15
|
P2Jp
|
0
|
0,3
|
0,02
|
0,11
|
P2Jj
|
0,35
|
0,47
|
0,18
|
0,33
|
Tabel
3. Bobot Tajuk
Perlakuan
|
Blok
|
Rerata Perlakuan
|
||
I
|
II
|
III
|
||
P0Jk
|
0,37
|
0,31
|
0,21
|
0,3
|
P0Jp
|
0,15
|
0,09
|
0,05
|
0,1
|
P0Jj
|
1,77
|
0,96
|
0,61
|
1,1
|
P1Jk
|
0
|
0,2
|
0,1
|
0,1
|
P1Jp
|
0
|
0,67
|
0,03
|
0,23
|
P1Jj
|
0
|
0
|
0,3
|
0,1
|
P2Jk
|
0,77
|
0,3
|
0,57
|
0,55
|
P2Jp
|
1,25
|
0,23
|
0,04
|
0,51
|
P2Jj
|
0,13
|
0,6
|
0,32
|
0,35
|
Tabel
4. Bobot Tanaman
Perlakuan
|
Blok
|
Rerata Perlakuan
|
||
I
|
II
|
III
|
||
P0Jk
|
0,37
|
0,35
|
0,24
|
0,32
|
P0Jp
|
0,15
|
0,14
|
0,07
|
0,12
|
P0Jj
|
2,2
|
1,46
|
0,743
|
1,47
|
P1Jk
|
0
|
0,67
|
0,13
|
0,27
|
P1Jp
|
0
|
0,1
|
0,06
|
0,05
|
P1Jj
|
0
|
0
|
0,46
|
0,15
|
P2Jk
|
0,13
|
0,4
|
0,63
|
0,39
|
P2Jp
|
0,77
|
0,3
|
0,5
|
0,52
|
P2Jj
|
0,13
|
1,1
|
0,07
|
0,43
|
Keterangan:
P0
(Masam), P1 (Salin), P2 (Basa), Jk (Kangkung), Jp (Padi), Jj (Jagung).
IV.
PEMBAHASAN
Dari hasil
pengamatan yang telah didapat, perlakuan dengan tanah masam mempunyai rata-rata
tinggi tanaman yang paling baik diantara perlakuan dengan tanah salin dan basa.
Hasil rata-rata keseluruhan dari komoditas jagung, kangkung, dan padi yang
diberi perlakuan tanah masam didapatkan rata-rata 19,74, rata-rata tanah salin
2,68, dan rata-rata pada tanah basa 14,1.
Hasil pengamatan
bobot akar didapatkan hasil yang paling besar yaitu dengan perlakuan masam
yaitu rata-rata keseluruhan dari semua komoditas (jagung, padi, dan kangkung)
sebesar 2,15 dari pada dengan perlakuan salin rata-ratanya 0,03 sedangkan
perlakuan basa rata-ratanya 0,19.
Hasil pengamatan
bobot tajuk didapatkan hasil yang paling besar dimiliki pada perlakuan tanah
masam yaitu rata-rata keseluruhan dari semua komoditas (jagung, padi, dan
kangkung) sebesar 0,5, pada perlakuan tanah salin mempunyai rata-rata 0,14, dan
pada tanah basa mempunyai rata-rata 0,47.
Hasil pengamatan
bobot tanaman didapatkan hasil yang paling besar yaitu pada perlakuan tanah
masam, yaitu rata-rata keseluruhan dari semua komoditas (jagung, padi, dan
kangkung) sebesar 0,64, pada perlakuan tanah salin mempunyai rata-rata 0,16,
dan pada perlakuan tanah basa mempunyai rata-rata 0,45.
Pertumbuhan
tanaman dapat dihambat oleh logam berat. Tetapi tanaman juga berusaha untuk
melangsungkan proses hidupnya, dengan beradaptasi terhadap lingkungan dan
mengembangkan sifat toleran terhadap logam berat sampai aras yang meracun atau
bahkan mematikan.
Menurut saya
semua perlakuan yang telah dipraktikumkan tidak ada yang baik, karena semuanya
adalah perlakuan yang tidak baik untuk proses kehidupan suatu tumbuhan yang
ada. Perlakuan yang baik ialah jika tanaman tumbuh pada lingkungan yang sesuai
yaitu pada tanah yang mempunyai pH normal (7). Pada tanah dengan pH yang normal
tanaman akan tumbuh secara baik dan pertumbuhannya juga akan cepat ketimbang
tanaman yang hidup pada tanah yang bermasalah seperti di tanah masam, basa,
ataupun salin.
Pengaruh pH
tanah pada tanaman, yaitu:
1. Menentukan
mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tanaman. Pada umumnya unsur hara
akan mudah diserap tanaman pada pH 6-7, karena pada pH tersebut sebagian besar
unsur hara akan mudah larut dalam air.
2. Derajat pH
dalam tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi
tanaman. Jika tanah masam akan banyak ditemukan unsur alumunium (Al) yang
selain meracuni tanaman juga mengikat phosphor sehingga tidak bisa diserap
tanaman. Selain itu pada tanah masam juga terlalu banyak unsur mikro yang bisa
meracuni tanaman. Sedangkan pada tanah basa banyak ditemukan unsur Na (Natrium)
dan Mo (Molibdenum)
3. Kondisi pH
tanah juga menentukan perkembangan mikroorganisme dalam tanah. Pada pH 5,5 – 7
jamur dan bakteri pengurai bahan organik akan tumbuh dengan baik. Demikian juga
mikroorganisme yang menguntungkan bagi akar tanaman juga akan berkembang dengan
baik.
V.
KESIMPULAN
Meskipun tanaman
hidup pada kondisi yang tidak sesuai, tetapi tanaman tersebut tetap berusaha
melangsungkan proses hidupnya dengan cara beradaptasi dengan lingkungan dan
mengembangkan sifat toleran. Setiap jenis tanaman memiliki kisaran toleransi
terhadap lingkungan yang berbeda-beda antara tanaman yang satu dengan yang
lain. Hasil dari pengamatan yang telah dilakukan diperoleh hasil perlakuan
tanah masam yang paling baik pertumbuhannya daripada perlakuan tanah basa dan
tanah salin.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
2012. pH Tanah Dan Reaksi Tanah (On-line).
http://infotonothemycry.blogspot.com/2012/06/pH-tanah-dan-reaksi-tanah.html diakses 20 juni 2012.
Hakim,
N., M. Yusuf. N., A. M. Lubis., Sutopo. G. N., M. Amin, D., Go B. H., dan H. H
Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.
Universitas Lampung, Lampung.
I.
PENDAHULUAN
Manfaat
praktikum analaisis vegetasi yaitu supaya dapat mengontrol dan mengupayakan
pencegahan untuk menangani berbagai masalah lingkungan sekitar demi terciptanya
keseimbangan yang harmonis di alam.
Transek ini
selain bertujuan untuk mengetahui potensi alam yang ada pada suatu tempat,
tetapi juga bertujuan untuk mengetahui sebaran atau distrisbusi tanaman yang
terdapat pada suatu daerah tersebut, sehingga diketahui lebih dalam potensi dan
permasalahannya yang dapat dikenali dan ketahui untuk dipecahkan agar dapat
terjadi interaksi atau hubungan timbal balik antara manusia dan tumbuhan yang
saling menguntungkan baik untuk manusia dan alam itu sendiri. Dalam penelusuran
lokasi atau transek vegetasi ini juga perlu diperhatikannya keadaan iklim yan
berada di daerah tersebut. Hal ini berguna untuk mengetahui tanaman yang cocok
atau mampu bertahan hidup di daerah tersebut sehingga dapat memeberikan
pertumbuhan dan perkembangan yang maksimal, diantaranya dari segi topografi
atau ketinggian tempat, kelembaban, serta intensitas cahaya yang diperoleh.
Berdasarkan
tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam tiga
kategori, yaitu:
1. Pendugaan
komposisi vegatasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan membandingkan
dengan areal lain,
2. Menduga
keragaman jenis dalam satu areal, dan
3. Melakukan
korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau
beberapa faktor lingkungan.
Evaluasi lahan
adalah proses penilaian penampilan atau keragaman lahan jika dipergunakan untuk
tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei dan studi bentuk
lahan, tanah, vegetasi, iklim, dan aspek lahannya. Agar dapat
mengidentifikasikan dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang
mungkin dikembangkan (FAO, 1976).
Klasifikasi
kemampuan lahan (Land Capability
Clasification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara
sistemik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas
sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara
lestari.
Kegunaan
evaluasi lahan. Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam
proses perencanaan penggunaan lahan (Land
Use Planning) (Bartelli et al., 1976, FAO, 1976). Hasil evaluasi lahan
memberikan alternatif penggunaan lahan dan batas-batas kemungkinan
penggunaannya serta tindakan-tindakan pengelolaan yang diperlukan agar lahan
dapat dipergunakan secara lestari sesuai dengan hambatan atau ancaman yang
terdapat. Kegunaannya untuk berbagai tingkat perencanaan ditentukan oleh tingkat pengamatan atau
tingkat survei sumberdaya lahan. Tingkat pengamatan menentukan tingkat
kerincian data yang disajikan.
Klasifikasi
kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Hockensmith dan Stele (1943) dan
Klingebiel dan Montgomery (1973). Menurut sistem ini lahan digolongkan ke dalam
tiga kategori utama Kelas, Subkelas, dan Satuan Kemampuan atau Pengelolaan.
Pengelompokkan
di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Tanah
dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I
samapai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturur-turut dari
kelas I sampai VIII. Tanah pada Kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik
mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman
tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan
ternak, padang rumput dan hutan. Tanah pada Kelas V, VI, dan VII sesuai untuk
padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal
tanah Kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis
tanaman tertentu seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan
bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi
tanah dan air yang baik. Tanah dalam Kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam
keadaan alami.
Pengelompokkan
di dalam subkelas didasarkan atas jenis faktor penghambat atau ancaman.
Terdapat empat jenis utama penghambat atau ancaman yang dikenal yaitu: (1)
ancaman erosi, (2) ancaman kelebihan air, (3) pembatas perkembangan akar
tanaman, dan (4) pembatas iklim.
Pengelompokkan
di dalam satuan kemampuan adalah pengelompokkan tanah-tanah yang mempunyai
keragaan dan persyaratan yang sama terhadap sistem pengelolaan yang sama bagi
usaha tani tanaman pertanian umumnya atau tanaman rumput untuk makanan ternak
atau yang lainnya. Tanah-tanah di dalam satu satuan kemampuan sesuai bagi
penggunaan usaha tanaman yang sama dan
memberikan keragaan yang sama terhadap
berbagai alternatif pengelolaan bagi
tanaman tersebut. Pendugaan jangka panjang (sepuluh tahun) hasil tanaman yang
diusahakan pada setiap lahan dalam satuan kemampuan yang sama dengan pengelolaan
yang sama tidak berbeda lebih dari 25%. Hasil tanaman adalah merupakan kriteria
yang dipergunakan dalam tingkat satuan kemampuan.
Macam-macam
metode analisis vegetasi, yaitu:
1. Metode
Destruktif
Metode
ini biasanya dilakukan untuk memahami jumlah materi organik yang dapat
dihasilkan oleh suatu komunitas tumbuhan. Variabel yang dipakai bisa
diproduktivitas primer, maupun biomassa.
Metode
ini sangat membantu dalam menentukan kualitas padang rumput dengan usaha
pencairan lahan penggembalaan dan sekaligus menentukan kapasitas tampungnya.
Pendekatan yang terbaik untuk metode ini adalah secara floristika, yaitu
berdasarkan pengetahuan taksonomi tumbuhan.
2. Metode
nondestruktif
Metode
ini dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu berdasarkan penelaahan
organisme hidup atau tumbuhan tidak didasrkan taksonominya. Sehingga dikenal
metode non floristika. Pendekatan lainnya adalah didasrkan penelaahan organisme
tumbuhan secara taksonomi atau pendekatan floristika.
3. Metode
Non Floristik
Penelaahan
ini banyak dikembangkan oleh pakar vegetasi. Seperti Du Rietz (1931), Raunkiaer
(1934), dan Dansereau (1951). Yang kemudian diekspresikan oleh Eiten (1968),
dan UNESCO (1973). Dansereau membagi dunia tumbuhan berdasarkan berbagai hal,
yaitu bentuk hidup, ukuran, fungsi daun, bentuk, dan ukuran daun, tekstur daun
dan penutupan. Untuk setiap karakteristik dibagi-bagi lagi dalam sifat yang
lebih rinci, yang pengungkapannya dinyatakan dalam bentuk simbol huruf dan
gambar.
Metode
ini biasanya dipergunakan dalam pembuatan peta vegetasi dengan skala kecil
sampai sedang, dengan tujuan menggambarkan penyebaran vegetasi berdasarkan
penutupannya, dan juga masukan disiplin ilmu yang lainnya (Syafei, 1990).
4. Metode
Floristik
Metode
ini berdasarkan pada penelaahan organisme tumbuhan secara taksonomi. Metode ini
dapat menentukan kekayaan floristik atau keanekaragaman dari berbagai bentuk
vegetasi. Penelaahan dilakukan terhadap semua populasi spesies pembentuk
masyarakat tumbuhan tersebut, sehingga pemahaman dari setiap jenis tumbuhan
secara taksonomi adalah sangat dibutuhkan. Metode floristik ini ditunjang
dengan variabel-variabel yang diperlukan untuk menggambarkan baik struktur
maupun komposisi vegetasi, diantaranya adalah Kerapatan (untuk menggambarkan
jumlah individu dari populasi sejenis), Kerimbunan (variabel yang menggambarkan
luas penutupan suatu populasi di suatu kawasan dan bisa juga menggambarkan luas
daerah yang dikuasai oleh populasi tertentu atau dominasinya), dan Frekuensi
(variabel yang menggambarkan penyebaran dari populasi di suatu kawasan)
(Rohman, 2012).
Dari beberapa
metode analisis vegetasi, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan
maupun kendala. Sehingga dalam pemilihan metode analisa vegetasi harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
1. Tujuan
: apa yang di inginkan peneliti atau yang menjadi tujuan menganalisa vegetasi,
2. Waktu
: Apakah si peneliti punya banyak waktu atau terbatas,
3. Biaya
: Apakah biaya yang digunakan / dikeluarkan memadai atau tidak,
4. Tenaga
: Apakah tenaganya memungkinkan atau tidak,
5. Jenis
dan macam data serta informasi, tiap type vegetasi dan habitat memiliki
karakteristik sendiri sehingga diperlukan metode tersedia, dan
6. Kondisi
vegetasi / lapangan, pengamatan pada areal terbuka akan berbeda dengan areal
berhutan (Puspito, 2010).
II.
METODE
PRAKTIKUM
A.
Alat
dan Bahan
Alat yang
digunakan dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu alat tulis, spidol, lux
meter, altimeter, higrometer, termometer dan kertas A4. Bahan yang digunakan
dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu tanaman yang ada di lingkungan
sekitar.
B.
Prosedur
Kerja
1. Praktikan
ditujukan pada tempat yan akan dijadikan transek kemudian diamati dan diperoleh
data,
2. Dilakukan
pengamatan dengan variabel berupa ketinggian tempat, suhu, kelembaban,
intensitas cahaya, warna tanah, jenis tanaman, tipe tanaman, distribusi
tanaman, sistem tanam, serta sistem irigasi,
3. Hasil
dari pengamatan digambar pada kertas A4 baik dari daerah rendah, tengah (sedang),
ataupun atas (tinggi),
4. Hasil
gamabar yang diperoleh dipresentasikan.
III.
HASIL
(Terlampir)
IV.
PEMBAHASAN
Transek adalah
teknik penelusuran lokasi untuk mengamati secara langsung keadaan sumberdaya
dan lingkungan desa. Arti harafiah dari “Transek” adalah bagian potongan atau
irisan dari bentang lahan yang disurvei/dikaji. Teknik ini dilakukan dengan
cara berjalan menelusuri wilayah desa mengikuti suatu lintasan tertentu yang
telah disepakati bersama (Najiyati et al., 2005).
Hasil pengamatan
menunjukkan lokasi bagian bawah mempunyai ketinggian tempat dari 170 sampai 300
mdpl, dengan suhu berkisar antara 230 samapai 30° C, kelembaban rata-rata
30%, pH tanah berkisar antara 5,8 samapai 7,3 dan intenstitas cahaya antara 572
sampai 817 lux. Warna tanah coklat kemerahan berarti tanah pada area tersebut
dapat dikatakan subur. Tanaman yang dominan tumbuh pada areal tersebut yaitu
padi, jagung, kacang panjang, singkong, durian, cabai, bambu, albasia dan
pepaya sistem pertanaman ada yang monokultur dan tumpangsari. Sistem irigasi
yang digunakan pada areal ini yaitu non teknis yang artinya tanpa dilakukan
pengaturan sistem pengairan misalnya dengan cara mengandalkan air hujan. Selain
itu terdapat permasalahan yang dihadapi pada areal ini banyaknya gulma yang
tumbuh di tanaman budidaya, hal ini terjadi karena kurangnya perhatian khusus
dari sang pemilik lahan tersebut.
Hasil pengamatan
pada lokasi bagian tengah didapatkan suatu hasil yaitu pada bagian tengah
ketinggian tempat berkisar antara 410 sampai 500 mdpl, pH tanah yang dimiliki
antar 6 sampai 7,5, intensitas cahaya matahari berkisar antara 230 sampai 1112
lux, kelembaban antara 20 sampai 36%, dan suhu berkisar 27 sampai 300C
kemudian tanaman yang dominasi di lokasi tersebut yaitu jabon, tomat, bambu dan
albasia. Sistem pertanaman yang kita amati disana ada yang melakukan pola tanam
monokultur, tumpangsari, dan kebun campur hal ini dilakukan sesuai dengan
kehendak pemilik tiap lahan yang akan mengolah hasil tersebut. Sistem irigasi
non teknis, mereka hanya mengandalkan adanya air hujan saja.
Pada lokasi
bagian atas didapatkan suatu hasil pengamatan ketinggian tempat yaitu berkisar
antara 500 sampai 620 mdpl, memiliki intensitas cahaya berkisar 344 samai 1238
lux, memiliki suhu rata-rata 24 samapai 300C, dan memilki kelembaban
antara 15 sampai 33%. Di lokasi tersebut didominasi tanaman kakao, cabai,
cengkih dan albasia. Pola tanam monokultur, tumpangsari, dan intercropping.
Sistem irigasi yang ada disana rata-rata menggunakan sistem non teknis yaitu
mengandalkan adanya air hujan saja.
Menurut
kartasapoetra (1993), pada daerah dengan curah hujan yang tinggi, air hujan
yang menimpa tanah akan memberikan dua afek yaitu menghanyutkan bahan organik atau meresapkan bahan organik kedalam tanah. Sehingga pH tanah pada lokasi atas
lebih besar karena
bahan organik
tercuci ke areal yang lebih rendah yang mengakibatkan akumulasi bahan organik di lokasi yang lebih rendah. Peristiwa itu pula yang
menyebabkan warna tanah pada daerah bawah sedikit lebih gelap dibandingkan
warna tanah pada daerah atas, karena selain bahan organik mempengaruhi pH tanah, juga mempengaruhi warna tanah.
(Hardjowigeno,1993).
Secara lebih
terperinci, kelas-kelas kemempuan lahan dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a.
Kelas I, Merupakan
lahan dengan ciri tanah datar, butiran tanah agak halus, mudah diolah, sangat
responsif terhadap pemupukan dan memiliki system pengaliran air yang baik.
Tanah kelas I sesuai untuk semua jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan
usaha pengawetan tanah. Untuk meningkatkan kesuburannya dapat dilakukan
pemupukan.
b.
Kelas II, Merupakan
lahan denga ciri lereng landai, butiran tanahnya halus sampai agak kasar. Tanah
kelas II agak peka terhadap erosi. Tanah ini sesuai untuk usaha pertanian
dengan tindakan pengawetan tanah yang ringan, seperti pengolahan tanah
berdasarkan garis ketinggian dan penggunaan pupuk hijau.
c.
Kelas III, Merupakan
lahan dengan cirri tanah terletak di daerah yang agak miring dengan sistem
pengairan air yang kurang baik. Tanah kelas III sesuai untuk segala jenis usaha
pertanian dengan tindakan pengawetan tanah yang khusus seperti pembuatan
terasering, pergiliran tanaman dan system penanaman berjalur. Untuk
mempertahankan kesuburan tanah perlu pemupukan.
d.
Kelas IV, Merupakan
lahan dengan ciri tanah terletak pada wilayah yang miring sekitar 12-30% dengan
system pengairan yang buruk. Tanah kelas IV ini masih dapat dijadikan lahan
pertanian dengan tingkatan pengawetan tanah yang lebih khusus dan lebih berat.
e.
Kelas V, Merupakan
lahan dengan ciri terletak di wilayah yang datar atau agak cekung, namun permukaannya
banyak mengandung batu dan tanah liat. Karena terdapat di daerah yang cekung
tanah ini seringkali tergenag air sehingga tingkat keasaman tanahnya tinggi. Tanah
ini tidak cocok untuk dijadikan lahan pertanian, tetapi inipun lebih sesuai
untuk dijadikan padang rumput atau dihutankan.
f.
Kelas VI, Merupakan
lahan dengan ciri ketebalan tanahnya tipis dan terletak di daerah yang agak
curam dengan kemiringan lahan sekitar 30-45 %. Lahan kelas VI ini mudah sekali
tererosi, sehingga lahan inipun lebih sesuai untuk dijadikan padang rumput
atau dihutankan.
g.
Kelas VII, Merupakan
lahan dengan ciri terletak di wilayah yang sangat curam dengan kemiringan
antara 45-65 % dan tanahnya sudah mengalami erosi berat. Tanah ini sama sekali
tidak sesuai untuk dijadikan lahan pertanian, namun lebih sesuai ditanami
tanaman tahunan (tanaman keras).
h.
Kelas VIII, Merupakan
lahan dengan ciri terletak di daerah dengan kemiringan di atas 65 %, butiran
tanah kasar dan mudah lepas dari induknya. Tanah ini sangat rawan terhadap
kerusakan, karena itu lahan kelas VIII harus dibiarkan secara alamiah tanpa
campur tangan manusia atau dibuat cagar alam (Arsyad, 1989).
Vegetasi disuatu
tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain karena perbedaan faktor
lingkungannya, antara lain:
1. Faktor
Tanah (Edafik)
Tingkat
kesuburan tanah merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap penyebaran
vegetasi. Makin subur tanah, maka kehidupan tumbuhan makin banyak jumlah dan
jenisnya. Faktor tanah meliputi: Morfologi medan, sifat endapan, batuan induk.
2. Faktor
iklim yang berpengaruh terhadap penyebaran vegetasi antara lain:
a. Suhu,
Suhu
perbedaan suhu bukan karena musim, tetapi karena perbedaan ketinggian tempat
dan perbedaan siang dan malam. Perbedaan suhu mengakibatkan adanya perbedaan
dalam pola penggunaan tanah, terutama dalam jenis tanaman yang diusahakan.
Junghuhn
membuat zonasi (pembatasan wilayah) tumbuh-tumbuhan sebagai berikut:
1) Daerah
panas (0-650 m dpl), yaitu kelapa, padi, jagung, tebu, karet.
2) Daerah
sedang (650-1500 m dpl), yaitu kopi, tembakau, teh, sayuran.
3) Daerah
sejuk (1500-2500 m dpl), yaitu teh, sayuran, kina, pinus.
4) Daerah
dingin (> 2500 m dpl), yaitu tidak ada tanaman budidaya.
b. Kelembaban
udara
Kelembaban
udara berpengaruh langsung terhadap pola penyebaran vegetasi.
Beberapa jenis tumbuhan sangat cocok hidup di wilayah kering, sebaliknya
terdapat jenis tumbuhan yang hanya bertahan hidup di atas lahan dengan kadar air
yang tinggi.
Berdasarkan
tingkat kelembaban, berbagai jenis tumbuhan diklasifikasikan ke dalam 4
kelompok utama, yaitu:
1) Xerophyta,
jenis tumbuhan yang tahan terhadap lingkungan hidup yang kering, contoh kaktus,
rumput gurun.
2) Mesophyta,
jenis tumbuhan yang cocok hidup dilingkungan yang lembab, contoh: anggrek,
cendawan (jamur).
3) Hygrophyta,
jenis tumbuhan yang cocok hidup dilingkungan yang basah, contoh: eceng gondok, teratai.
4) Tropophyta,
jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi terhadap perubahan musim, contoh: pohon
jati.
c. Angin
Angin
berfungsi sebagai alat transportasi yang memindahkan benih beberapa jenis
tumbuhan dan membantu penyerbukan. Selain itu angin berfungsi untuk
mendistribusikan uap air atau awan yang mengandung hujan dari suatu tempat ke
tempat lain.
Contoh:
Daerah Kranggan (lereng barat G. Slamet) dengan curah hujan 8.305 mm/tahun
(tertinggi di Indonesia). Sebaliknya, keberadaan vegetasi akan mampu menghalangi
pergerakan angin, sehingga dapat meningkatkan curah hujan untuk daerah
disekitarnya.
d. Curah
hujan
Jumlah
curah hujan rata-rata per tahun yang turun di berbagai tempat di Indonesia
berkisar antara 500 mm sampai lebih dari 5.000 mm, sehingga sebenarnya tidak
seluruh wilayah Indonesia mempunyai iklim tropis basah. Curah hujan sebesar 500
mm setahun sebenarnya sudah mendekati keadaan gurun untuk daerah panas.
Tempat-tempat
yang bercurah hujan besar adalah tempat-tempat yang letaknya di pantai barat
atau selatan yang langsung menghadapi angin barat, misalnya: Meulaboh (3729 mm),
Sibolga (4662 mm), Padang (4453 mm), dan Bengkulu (3299 mm).
Tempat-tempat
lain yang bercurah hujan besar adalah tempat-tempat yang terletak pada lereng gunung
yang menghadap ke barat dengan ketinggian tertentu, misalnya: Kranggan, lereng
barat G. Slamet (8.305 mm/th), Wanayasa, lereng Tangkuban perahu (4543 mm/th),
dan Lereng barat Pegunungan Dieng (6649 mm/th).
3. Faktor
Biotik (Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan)
Manusia
mampu mengubah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Misalnya daerah
hutan diubah menjadi daerah pertanian, perkebunan atau perumahan dengan
melakukan penebangan, reboisasi, atau pemupukan. Manusia dapat menyebarkan
tumbuhan dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Selain
itu faktor hewan juga memiliki peranan terhadap penyebaran tumbuhan. Misalnya
serangga dalam proses penyerbukan, kelelawar, burung, tupai membantu dalam
penyebaran biji tumbuhan.
Peranan
faktor tumbuh-tumbuhan adalah untuk menyuburkan tanah. Tanah yang
subur memungkinkan terjadi perkembangan kehidupan tumbuh-tumbuhan. Contohnya
bakteri saprophit merupakan jenis tumbuhan mikro yang membantu penghancuran
sampah-sampah di tanah sehingga dapat menyuburkan tanah (Maryanto, J dan
Suwardi, 2012).
V.
KESIMPULAN
1) Transek
adalah bagian potongan atau irisan dari bentang lahan yang disurvei/dikaji.
Teknik ini dilakukan dengan cara berjalan menelusuri wilayah desa mengikuti
suatu lintasan tertentu yang telah disepakati bersama.
2) Vegetasi
disuatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain karena perbedaan
faktor lingkungannya, antara lain:
a. Faktor
Tanah (Edafik)
b. Faktor
iklim, yang berpengaruh terhadap penyebaran vegetasi antara lain:
1. Suhu
2. Kelembaban
Udara
3. Angin
4. Curah
Hujan
c.
Faktor Biotik (Manusia,
hewan dan tumbuh-tumbuhan)
DAFTAR
PUSTAKA
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB, Bogor.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan
Pedogenesis. Akademika Presindo,
Jakarta.
Kartasapoetra, A.G. 1993. Klimatologi
Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman. Bumi Aksara, Jakarta.
Maryanto,
J dan Suwardi. 2012. Faktor-Faktor yang Berperan terhadap Penyebaran Vegetasi.
(On-line). http://www.scribd.com/doc/91878860/ANALISIS-VEGETASI
diakses 20 Juni 2012.
Puspito,
I. 2010. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. (On-line). http://talkeharjuna.blogspot.com/2010/12/ksdahe.html diakses 20 Juni 2012.
Rohman,
I.F. 2012. Metode Analisis Vegetasi. (On-line).
http://imamfauzirohman.blogspot.com/2012/01/metode-analisis-vegetasi.html diakses 20 Juni 2012.
Syafei, E.S. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. ITB, Bandung.
Lampiran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar