Rabu, 24 Oktober 2012

Laporan Ektan


I.       PENDAHULUAN
Selama siklus hidup tanaman, mulai dari perkecambahan sampai panen selalu membutuhkan air. Tidak satupun proses kehidupan tanaman yang dapat bebas dari air. Besarnya kebutuhan air setiap fase pertumbuhan selama siklus hidupnya tidak sama. Hal ini berhubungan langsung dengan proses fisiologis, morfologis, dan kombinasi ke dua faktor di atas dengan faktor-faktor lingkungan.
Kebutuhan air pada tanaman dapat dipenuhi melalui tanah dengan jalan penyerapan oleh akar. Besarnya air yang diserap oleh akar tanaman sangat tergantung pada kadar air tanah dan kondisi lingkungan di atas tanah (Jumin, 1989).
Fungsi air bagi tanaman, yaitu:
1.      Sebagai senyawa utama pembentuk protoplasma,
2.      Sebagai senyawa pelarut bagi masuknya mineral-mineral dari larutan tanah ke tanaman dan sebagai pelarut mineral nutrisi yang akan diangkut dari satu bagian sel ke bagian sel lain,
3.      Sebagai media terjadinya reaksi-reaksi metabolik,
4.      Sebagai reaktan pada sejumlah reaksi metabolisme seperti siklus asam trikarboksilat,
5.      Sebagai penghasil hidrogen pada proses fotosintesis,
6.      Menjaga turgiditas sel dan berperan sebagai tenaga mekanik dalam pembesaran sel,
7.      Mengatur mekanisme gerakan tanaman seperti membuka dan menutupnya stomata, membuka dan menutupnya bunga serta melipatnya daun-daun tanaman tertentu,
8.      Berperan dalam perpanjangan sel,
9.      Sebagai bahan metabolisme dan produk akhir respirasi, dan
10.  Digunakan dalam proses respirasi (Bachtiar, 2010).
Kehilangan air pada jaringan tanaman akan menurunkan turgor sel, meningkatkan konsentrasi makro molekul serta senyawa-senyawa dengan berat molekul rendah, mempengaruhi membran sel dan potensi aktivitas kimia air dalam tanaman (Mubiyanto, 1997). Peran air yang sangat penting tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa langsung atau tidak langsung kekurangan air pada tanaman akan mempengaruhi semua proses metaboliknya sehingga dapat menurunkan pertumbuhan tanaman.
Respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan mencakup perubahan ditingkat seluler dan molekuler seperti perubahan pada pertumbuhan tanaman, volume sel menjadi lebih kecil, penurunan luas daun, daun menjadi tebal, adanya rambut pada daun, peningakatan ratio akar-tajuk, sensitivitas stomata, penurunan laju fotosintesis, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen, perubahan produksi aktivitas enzim dan hormon, serta perubahan ekspresi gen (Kramer, 1980; Pennypacker Pugnaire, Serrano dan Pardos, 1990; Mullet dan Whissit, 1996; Navari-Izzo dan Rascio, 1999; Pugnaire et al, 1999).
Secara umum tanaman akan menunjukkan respon tertentu bila mengalami cekaman kekeringan. Respon tanaman terhadap stres air sangat ditentukan oleh tingkat stres yang dialami dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman. Bila tanaman dihadapkan pada kondisi kering terdapat dua macam tanggapan yang dapat memperbaiki status air, yaitu (1) tanaman mengubah distribusi asimilat baru untuk mendukung pertumbuhan akar dengan mengorbankan tajuk, sehingga dapat meningkatkan kapasitas akar menyerap air serta menghambat pemekaran daun untuk mengurangi transpirasi. (2) tanaman akan mengatur derajat pembukaan stomata untuk menghambat kehilangan air lewat transpirasi (Mansfield dan Atkinson, 1990).
Genangan berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi, permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan menyebabkan kematian akar di kedalaman tertentu dan hal ini akan memacu pembentukan akar adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan (Staff Lab Ilmu Tanaman, 2008).
Dampak genangan: menurunkan pertukaran gas antara tanah dan udara yang mengakibatkan menurunnya ketersediaan O2 bagi akar, menghambat pasokan O2 bagi akar dan mikroorganisme (mendorong udara keluar dari pori tanah maupun menghambat laju difusi). Besarnya kerusakan tanaman sebagai dampak genangan tergantung pada fase pertumbuhan tanaman. Fase yang peka genangan fase perkecambahan, fase pembungaan, dan pengisian (Askari, 2007).
Tanaman yang tergenang dalam waktu singkat akan mengalami kondisi hipoksia (kekurangan O2). Hipoksia biasanya terjadi jika hanya bagian akar tanaman yang tergenang (bagian tajuk tidak tergenang) atau tanaman tergenang dalam periode yang panjang tetapi akar berada dekat permukaan tanah. Jika tanaman tergenang seluruhnya, akar tanaman berada jauh di dalam permukaan tanah dan mengalami penggenangan lebih panjang sehingga tanaman berada pada kondisi anoksia (keadaan lingkungan tanpa O2). Kondisi anoksia tercapai 6−8 jam setelah penggenangan, karena O2 terdesak oleh air dan sisa O2 dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Pada kondisi tergenang, kandungan O2 yang tersisa dalam tanah lebih cepat habis bila terdapat tanaman karena laju difusi O2 di tanah basah 10.000 kali lebih lambat dibandingkan dengan di udara (Amstrong 1979 dalam Dennis et al. 2000).
Dalam penelitian Arief Harsono, Tohari, D.Indradewa, dan T.Adisarwanto (2003) menyatakan bahwa berdasarkan dari beberapa genotipe kacang tanah yang diteliti ternyata genotipe singa yang paling tahan terhadap cekaman tetapi dibawah 60% kapasitas lapangan ketahanan antara genotipe tidak berbeda. Genotipe yang tahan kering pada kondisi tercekam kekeringan mempunyai transpirasi lebih rendah, fotosintesis lebih tinggi, menggunakan lengas tanah lebih efisien dan mampu memberikan hasil polong lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe rentan kering.
Menurut Bacanamwo dan Purcell (1999), kedelai beradaptasi terhadap genangan dengan mengalokasikan fotosintesis dengan cara mengembangkan akar adventif dan membentuk aerenkim yang bergantung pada fiksasi N2.




II.    METODE PRAKTIKUM
A.    Alat da Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu polibag, penggaris, alat tulis, dan timbangan analitik. Bahan yang digunakan dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu pupuk N, P, K, tanah, air, benih (kangkung, padi, dan jagung).

B.     Prosedur Kerja
1.      Tanah yang telah disediakan diambil, kemudian dimasukkan ke dalam polibag yang telah disediakan,
2.      Benih yang telah disiapkan, dimasukkan kedalam polibag yang telah berisi tanah,
3.      Dilakukan pemupukan setelah 1 minggu, dengan memakai pupuk N, P, dan K,
4.      Setelah itu diberi perlakuan sesuai yang dianjurkan yaitu diberi perlakuan (genangan, kering, dan normal),
5.      Dilakukan pengamatan setiap minggunya dengan mengamati tinggi tanaman,
6.      Setelah 1 bulan tanaman dicabut kemudian ditimbang bobot akar, bobot tajuk, dan bobot tanamannya.



III.  HASIL
Tabel 1. Tinggi Tanaman
Perlakuan
Blok
Rerata Perlakuan
I
II
III
PnJk
4,53
12
15,3
10,61
PnJp
12,77
14
13,5
13,23
PnJj
17,63
0
22,7
13,44
PkJk
15,1
4,83
21,8
13,91
PkJp
22,67
24,83
22
23,16
PkJj
20,5
30,16
32,2
27,62
PgJk
23,2
15,86
13,9
17,65
PgJp
23,8
24,07
12,75
20,2
PgJj
25,5
11,17
28,3
21,65

Tabel 2. Bobot Tanaman
Perlakuan
Blok
Rerata Perlakuan
I
II
III
PnJk
0,34
0,8
1,03
0,72
PnJp
0.01
0,74
0,1
0,28
PnJj
1,56
0
2,8
1,45
PkJk
0,63
0,04
1,6
0,75
PkJp
0,13
0,09
0,1
0,1
PkJj
0,92
0,5
2
1,14
PgJk
0,9
0,46
0,16
0,46
PgJp
0,5
0,2
0,55
0,41
PgJj
0,26
0,73
1,05
0,73

Tabel 3. Bobot Tajuk
Perlakuan
Blok
Rerata Perlakuan
I
II
III
PnJk
0,31
0,78
0,9
0,66
PnJp
0,08
0,72
0,1
0,3
PnJj
1,24
0
2,3
1,18
PkJk
0,58
0,03
0,9
0,5
PkJp
0,1
0,06
0,1
0,1
PkJj
0,54
0,37
1,5
0,1
PgJk
0,77
0,36
0,96
0,7
PgJp
0,23
0,1
0,45
0,26
PgJj
0,15
0,23
0,85
0,41

Tabel 4. Bobot Akar
Perlakuan
Blok
Rerata Perlakuan
I
II
III
PnJk
0,13
0,02
0,13
0,1
PnJp
0,02
0,02
0
0,01
PnJj
0,41
0
0,5
0,3
PkJk
0,04
0,01
0,5
0,2
PkJp
0,04
0,02
0,13
0,1
PkJj
0,31
0,1
0,16
0,2
PgJk
0,12
0,1
0,21
0,14
PgJp
0,82
0,1
0,1
0,34
PgJj
0,11
0,5
0,2
0,27

Keterangan:
Pg (Genangan), Pk (Kering), Pn (Normal), Jk (Kangkung), Jp (Padi), Jj (Jagung).
















IV. PEMBAHASAN
Hasil data pengamatan yang telah dilakukan dalam praktikum didapatkan hasil rata-rata tinggi tanaman jagung lebih tinggi dari tanaman kangkung dan padi pada semua perlakuan (normal, genangan, dan kering) yang telah dilakukan dalam praktikum. Tetapi bila dihitung rata-rata keseluruhan dari semua komoditas pada tiap perlakuan, perlakuan kekeringan mempunyai rata-rata tinggi tanaman lebih besar dari pada rata-rata tinggi tanaman pada perlakuan kekeringan dan normal.
Hasil data pengamatan pada bobot tanaman secara keseluruhan (padi, jagung, dan kangkung), tanaman yang diberi perlakuan normal mempunyai rata-rata lebih besar daripada rata-rata bobot tanaman yang diberi perlakuan kekeringan dan genangan. Tetapi jika dilihat dari bobot tanaman perkomoditas, tanaman jagung mempunyai rata-rata paling besar diantara tanaman padi dan kangkung.
Hasil data pengamatan bobot tajuk rata-rata keseluruhan dari semua perlakuan, perlakuan yang memiliki bobot tajuk paling besar ialah pada perlakuan normal. Tetapi bila dilihat rata-rata tiap komoditas, rata-rata yang paling tinggi pada perlakuan normal ialah jagung. Sedangkan rata-rata paling tinggi pada perlakuan kekeringan dan genangan dimiliki oleh komoditas kangkung.
Pada data hasil pengamatan bobot akar, perlakuan genangan memiliki bobot akar lebih besar daripada bobot akar dalam perlakuan kekeringan dan normal. Sedangkan bobot akar yang paling besar pada tiap komoditas, komoditas jagung dalam perlakuan normal lebih besar daripada kangkung, dan padi. Pada perlakuan kekeringan bobot akar yang memiliki rata-rata paling besar pada komoditas kangkung dan jagung. Sedangkan pada perlakuan genangan bobot akar paling besar dimiliki komoditas padi.
Dari hasil data pengamatan yang sudah dilakukan menunjukkan hasil yang tak sesuai dengan referensi yang ada. Tanaman yang diberi perlakuan genangan dan kekeringan seharusnya memiliki bobot tanaman, bobot akar, bobot tajuk, dan tinggi tanaman yang kurang baik. Tetapi di dalam data pengamatan ada data yang menunjukkan suatu hasil yang lebih baik dari pada tanaman yang diberi perlakuan normal. Hal ini kemungkinan adanya suatu kesalahan ketika melakukan pengamatan atau bahkan tidak telitinya seorang pengamat ketika melakukan pengukuran variabel tersebut.
Perlakuan yang paling baik menurut saya ketika suatu komoditas diberi perlakuan normal, karena tanaman tersebut tidak mengalami kondisi stres yang dapat mengurangi bobot tanaman, dan memperlambat pertumbuhan suatu tanaman yang ada. Di dalam suatu perlakuan normal air diberikan sesuai dengan keadaan kondisi lapang, yaitu keadaan dimana tanaman dapat memanfaatkan air tersebut secara baik untuk proses kehidupannya. Sedangkan pada perlakuan genangan air melimpah tetapi tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal karena tanaman akan mengalami kekurangan oksigen, dan pada perlakuan kekeringan air yang ada untuk tanaman dalam keadaan kekurangan yang tidak bisa dimanfaatkan tanaman secara maksimal.
Tanaman yang mampu beradaptasi pada kondisi tergenang dicirikan oleh kemampuan mengatasi stres dengan membentuk aerenkim, meningkatkan gula yang dapat larut, memperbanyak aktivitas glikolitik dan enzim fermentasi serta mekanisme ketahanan antioksidan untuk mengatasi kondisi setelah hipoksia dan anoksia (Sairam et al, 2008).
Ketahanan tanaman terhadap genangan dapat berupa penghindaran kekurangan oksigen dari daun ke akar, dan kemampuan tanaman untuk melakukan metabolisme atau dengan kata lain pada kondisi tersebut respirasi berlangsung secara anaerob. Dalam kondisi tergenang tanaman akan mengaktifkan proses fermentasi utama yaitu etanol, asam laktat yang akan membentuk alanin dari glutamat dan piruvat.
Tanaman yang tergenang menunjukkan gejala klorosis khas kahat N. Kekahatan N terjadi karena penurunan ketersediaan N maupun penurunan penyerapannya. Pada kondisi tergenang ketersediaan N dalam bentuk nitrat sangat rendah karena proses denitrifikasi, nitrat diubah menjadi N2, NO, N2O, atau NO2 yang menguap ke udara. Pada proses denitrifikasi, nitrat digunakan oleh bakteri aerob sebagai penerima elektron dalam proses respirasi.
Genangan berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi, permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan menyebabkan kematian akar di kedalaman tertentu, hal ini akan memacu pembentukan akar adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan. Kematian akar menjadi penyebab kekahatan N dan cekaman kekeringan fisiologis.
Respons tanaman terhadap kekeringan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tanaman yang menghindari kekeringan (drought avoiders) dan tanaman yang mentoleransi kekeringan (drought tolerators). Tanaman yang menghindari kekeringan membatasi aktivitasnya pada periode air tersedia maksimum antara lain dengan meningkatkan jumlah akar dan modifikasi struktur dan posisi daun. Tanaman yang mentoleransi kekeringan mencakup penundaan dehidrasi atau mentoleransi dehidrasi. Penundaan dehidrasi mencakup peningkatan sensivitas stomata dan perbedaan jalur fotosintesis, sedangkan toleransi dehidrasi mencakup penyesuaian osmotik.
Tumbuhan merespon kekurangan air dengan mengurangi laju transpirasi untuk penghematan air. Terjadinya kekurangan air pada daun akan menyebabkan sel-sel penjaga kehilangan turgornya. Suatu mekanisme kontrol tunggal yang memperlambat transpirasi dengan cara menutup stomata. Kekurangan air juga merangsang peningkatan sintesis dan pembebasan asam absisat dari sel-sel mesofil daun. Hormon ini membantu mempertahankan stomata tetap tertutup dengan cara bekerja pada membrane sel penjaga. Daun juga merespon terhadap kekurangan air dengan cara lain. Karena pembesaran sel adalah suatu proses yang tergantung pada turgor, maka kekurangan air akan menghambat pertumbuhan daun muda. Respon ini meminimumkan kehilangan air melalui transpirasi dengan cara memperlambat peningkatan luas permukaan daun. Ketika daun dari kebanyakan rumput dan kebanyakan tumbuhan lain layu akibat kekurangan air, mereka akan menggulung menjadi suatu bentuk yang dapat mengurangi transpirasi dengan cara memaparkan sedikit saja permukaan daun ke matahari (Campbell, 2003).

V.    KESIMPULAN
Dari data hasil pengamatan yang telah dilakukan pada saat praktikum, tanaman jagung adalah komoditas yang memiliki tingkat respon yang lebih tinggi terhadap lingkungannya daripada komoditas padi dan kangkung.
Genangan berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi, permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan menyebabkan kematian akar di kedalaman tertentu, hal ini akan memacu pembentukan akar adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan. Kematian akar menjadi penyebab kekahatan N dan cekaman kekeringan fisiologis.
Tumbuhan merespon kekurangan air dengan mengurangi laju transpirasi untuk penghematan air. Terjadinya kekurangan air pada daun akan menyebabkan sel-sel penjaga kehilangan turgornya. Kekurangan air juga merangsang peningkatan sintesis dan pembebasan asam absisat dari sel-sel mesofil daun.









DAFTAR PUSTAKA
Bacanamwo, M. And L.C. Purcell. 1999. Soybean Root Morfological and Anatomical Traits Associated with Acclimation to Flooding. Crop Sci. 39: 143-149.

Bachtiar. 2010. Peranan Air Bagi Tanaman. (On-line). http://oyie.blog.com diakses 16 Juni 2012.

Harsono, A., Tohari. D.I., dan T. Adisarwanto. 2003. Ketahanan dan Aktifitas Fisiologi Genotipe Kacang Tanah Pada Cekaman Kekeringan. (On-line). Available at : http://agrisci.ugm.ac.id/vol10_2/6_Harsono_kcngtnh.pdf diakses 16 Juni 2012.

Mansfield., T.A. and C. J. Atkinson. 1990. Stomatal behavior in water stressed plants. P. 241-246. In Alscher ang Cumming (Ed.). Stress respons in plant: adaptation and acclimation mechanisms. Wiley-Liss, Inc., New York.

Mubiyanto, B.M. 1997. Tanggapan tanaman kopi terhadap cekaman air. Warta Puslit Kopi dan Kakao 13(2): 83-95.

Sairam, R.K., D. Kamutha, K. Ezhilmathi, P.S. Deshmukh, and G.C. Srivastava. 2008. Phisiology and Biochemistry of Water Logging Tolerance in Plants. Biol Plant (52): 401-412.









I.       PENDAHULUAN
Pemupukan menurut pengertian khusus ialah pemberian bahan yang dimaksudkan untuk menyediakan hara bagi tanaman. Umumnya pupuk diberikan dalam bentuk padat atau cair melalui tanah dan diserap oleh akar tanaman. Namun pupuk dapat juga diberikan lewat permukaan tanaman, terutama daun (Yuwono, 2010).
Klasifikasi pupuk dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:
1.      Atas dasar pembentukannya yang terdiri dari
a.       Pupuk Alam
Pupuk alam diantaranya terdiri dari pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, dan guano.
b.      Pupuk Buatan
Pupuk buatan adalah pupuk yang dibuat di pabrik-pabrik yang mengandung unsur hara tertentu, yang pada umumnya mempunyai kadar unsur hara yang tinggi.
Kelebihan pupuk buatan yang dibuat pabrik, antara lain:
1)      Lebih mudah menentukan jumlah pupuk yang diperlukan dengan kebutuhan tanaman,
2)      Hara yang diberikan dalam bentuk cepat tersedia,
3)      Dapat diberikan pada saat yang lebih tepat, dan
4)      Pemakaian dan pengangkutannya lebih murah karena kadar haranya tinggi.
Kelemahan pupuk buatan yang dibuat pabrik, antara lain:
1)      Bila tidak dengan perhitungan dalam pemakaiannya, maka penggunaannya akan merusak lingkungan, dan
2)      Umumnya tidak atau sedikit mengandung unsur mikro, dan hanya unsur tertentu saja yang mempunyai konsentrasi tinggi.
2.      Berdasarkan kandungan unsur haranya, maka pupuk dapat dibagi ke dalam beberapa golongan, yaitu:
a.       Pupuk Tunggal, yaitu pupuk yang mengandung satu jenis hara tanaman.
b.      Pupuk Majemuk, yaitu pupuk yang mengandung lebih dari satu unsur hara tanaman, seperti gabungan antara N, dan P atau P dan K.
c.       Pupuk Kalsium dan Magnesium yang biasanya penggunaannya dipakai sebagai unsur kapur karena aspek praktisnya disamping sebagai pupuk sering digunakan dalam usaha pengapuran.
3.      Berdasarkan susunan kimiawinya dapat digolongkan menjadi 2, yaitu:
a)      Pupuk Organik
Pupuk organik adalah merupakan hasil ahir atau hasil-hasil antara dari perubahan atau peruraian bagian-bagian/sisa tumbuhan dan hewan.
b)      Pupuk Anorganik
Pupuk anorganik adalah pupuk yang dibuat di pabrik (pupuk buatan).
Pupuk kandang terdiri dari dua komponen asli, yaitu padat dan cair dengan perbandingan rata-rata 3:1. Bagian padat rata-rata mengandung lebih 50% N, hampir semua P dan K lebih kurang 3/5. Tetapi karena ketersediaan hara dari bagian cair lebih cepat maka nilainya dari segi pertanian hampir sama.
Tabel 1. Presentase Kadar Hara Dalam Bagian Padat dan Cair dari Pupuk Kandang
Bagian Pupuk
N total (%)
P total (%)
K total (%)
Kotoran Padat
Kotoran Cair
55
45
100
sedikit
65
35
Total
100
100
100

Kadar rata-rata unsur hara dalam pupuk kandang sangat bervariasi. Keadaan keragaman ini disebabkan beberapa faktor, antara lain:
a.       Macam atau jenis hewan,
b.      Umur dan keadaan individu hewan,
c.       Makanan yang dimakan hewan/pemeliharaan  hewan,
d.      Bahan amparan,
e.       Cara pengelolaan dan penyimpanan pupuk kandang  sebelum dipakai.

Tabel 2. Kadar Rata-rata Unsur Hara yang Terdapat dalam Pupuk Kandang
Jenis Hewan
Bentuk Kotoran
H2O (%)
N (%)
P2O5 (%)
K2O (%)
Kuda
Padat
75
0,55
0,30
0,40
Cair
90
1,35
Sedikit
1,25
Keseluruhan
78
0,70
0,25
0,55
Sapi
Padat
85
0,40
0,20
0,10
Cair
92
1,00
Sedikit
1,35
Keseluruhan
86
0,60
0,15
0,45
Domba
Padat
60
0,75
0,50
0,45
Cair
85
1,35
0,05
2,10
Keseluruhan
68
0,95
0,35
1,00
Babi
Padat
80
0,55
0,50
0,40
Cair
97
0,40
0,10
0,40
Keseluruhan
87
0,50
0,35
0,40
Ayam
Keseluruhan
55
1,00
0,80
0,40

Dari tabel diatas terlihat kadar hara yang terdapat didalam pupuk kandang sangat beragam. Oleh karena itu untuk keperluan perhitungan telah ditetapkan suatu kesimpulan bahwa hara yang terdapat di dalam pupuk kandang berkadar rata-rata 0,50% N, 0,25% P2O5, dan 0,5% K2O (Hakim et al., 1986).
II.    METODE PRAKTIKUM
A.    Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu polibag, penggaris, alat tulis, dan timbangan analitik. Bahan yang digunakan dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu pupuk kandang dengan perbandingan (1 tanah : 1 kandang, dan 2 tanah : 1 kandang), tanah, air, benih (kangkung, padi, dan jagung).

B.     Prosedur Kerja
1.      Tanah yang telah disediakan diambil, tanah tersebut telah dicampur pupuk kandang dengan perbandingan 1 tanah : 1 kandang, 2 tanah : 1 kandang, dan kontrol (tanpa perlakuan),
2.      Campuran tanah dengan pupuk kandang dimasukkan ke dalam polibag yang telah disediakan,
3.      Benih yang telah disiapkan, dimasukkan kedalam polibag yang telah berisi tanah,
4.      Dilakukan pemupukan setelah 1 minggu, dengan memakai pupuk N, P, dan K,
5.      Dilakukan pengamatan setiap minggu, dengan mengamati tinggi tanaman, dan
6.      Setelah 1 bulan tanaman dicabut kemudian ditimbang bobot akar, bobot tajuk, dan bobot tanamannya.

III. HASIL
Tabel 1. Tinggi Tanaman
Perlakuan
Blok
Rerata Perlakuan
I
II
III
K0Jk
12,5
13,7
17,98
14,73
K0Jp
23,8
24,67
19,07
22,51
K0Jj
45,5
29,83
33,83
36,39
K1Jk
13,2
15,5
23,5
17,4
K1Jp
21,6
28,13
24,83
24,85
K1Jj
39,2
32,5
16,83
29,51
K2Jk
10,7
19,66
16,15
15,50
K2Jp
26,7
33,69
8,25
22,88
K2Jj
29
37,5
29,67
32,06

Tabel 2. Bobot Tanaman
Perlakuan
Blok
Rerata Perlakuan
I
II
III
K0Jk
0,4
0,5
0,54
0,48
K0Jp
0,23
0,2
0,397
0,28
K0Jj
3,7
1,63
1,1
2,14
K1Jk
0,93
1,33
0,93
1,06
K1Jp
0,37
0,26
0,16
0,26
K1Jj
2,87
2,03
0,43
1,78
K2Jk
0,9
1,3
0,64
0,95
K2Jp
0,23
0,43
0,217
0,29
K2Jj
2,27
2,9
1,67
2,28

Tabel 3. Bobot Akar
Perlakuan
Blok
Rerata Perlakuan
I
II
III
K0Jk
0,1
0,1
0,1
0,1
K0Jp
0,1
0,1
0,33
0,18
K0Jj
0,75
0,43
0,4
0,53
K1Jk
0,1
0,1
0,06
0,09
K1Jp
0,43
0,1
0,06
0,20
K1Jj
0,37
0,43
0,16
0,32
K2Jk
0,1
0,1
0,84
0,35
K2Jp
0,07
0,13
0,067
0,09
K2Jj
1,7
1,2
0,37
1,09

Tabel 4. Bobot Tajuk
Perlakuan
Blok
Rerata Perlakuan
I
II
III
K0Jk
0,3
0,4
0,53
0,41
K0Jp
0,13
0,1
0,067
0,10
K0Jj
2,95
1,2
0,7
1,62
K1Jk
0,83
1,23
2,6
1,55
K1Jp
0,27
0,16
0,1
0,18
K1Jj
2,5
1,6
0,26
1,45
K2Jk
0,8
1,2
0,54
0,85
K2Jp
0,16
0,3
0,14
0,2
K2Jj
0,57
1,76
1,14
1,16

Keterangan:
K0 (Non Pupuk), K1 (1 Tanah : 1 Pupuk Kandang), K2 (2 Tanah : 1 Pupuk Kandang), Jk (Kangkung), Jp (Padi), Jj (Jagung).










IV. PEMBAHASAN
Dari hasil pengamatan yang telah kami lakukan didapatkan suatu hasil pengukuran tinggi tanaman, bobot tanaman, bobot akar, dan bobot tajuk. Hasil pengukuran tinggi tanaman pada komoditas jagung, padi, dan kangkung menunjukkan suatu hasil bahwa pada tanaman jagung yang dilakukan pemupukan dengan perbandingan 2 tanah : 1 pupuk kandang menunjukkan hasil yang lebih baik yaitu tinggi rata-ratanya 32,06 daripada dengan pemupukan dengan perbandingan 1 tanah : 1 pupuk kandang yaitu tinggi rata-rata 29,51. Sedangkan pada kontrol menunjukkan hasil yang paling baik diantara semua perlakuan yang ada yaitu tinggi rata-rata 36,39. Komoditas tanaman kedua yang memberi respon terhadap perlakuan pemupukan adalah padi, sedangkan pada kangkung tidak menunjukkan respon yang nyata pada pemberian pupuk.
Pada bobot tanaman didapatkan suatu hasil yang berbeda pula antara tanaman yang diberi perlakuan pemupukan 2 tanah : 1 pupuk kandang, pemupukan 1 tanah : 1 pupuk kandang, dan kontrol tanpa perlakuan. Bobot yang paling tinggi ada pada perlakuan pemupukan 2 tanah : 1 pupuk kandang pada komoditas jagung yaitu dengan bobot rata-rata 2,28, pada perlakuan ini didapatkan hasil bobot tanaman yang tidak berbeda pula dengan tanaman yang tidak diberi perlakuan (kontrol) dengan bobot rata-rata 2,14, sedangkan pada perlakuan pemupukan 1 tanah : 1 pupuk kandang menunjukkan hasil bobot yang lebih rendah dengan bobot rata-rata 1,78.
Pada tanaman jagung diperoleh bobot akar dan bobot tajuk yang lebih besar daripada tanaman padi dan kangkung, bobot akar dan bobot tajuk yang besar ini diperoleh dari perlakuan pemupukan 2 tanah : 1 pupuk kandang. Sedangkan pada perlakuan pemupukan 1 tanah : 1 pupuk kandang dan kontrol selisih rata-ratanya tidak terlalu besar.
Hasil penelitian dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh nyata pemberian bahan organik pupuk kandang terhadap tinggi tanaman. Namun, secara rata-rata terlihat kecenderungan bahwa makin banyak bahan organik diberikan maka tinggi tanaman semakin tinggi. Pengaruh pemberian bahan organik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, diduga disebabkan oleh unsur hara yang dibutuhkan bagi tanaman untuk pertumbuhan tinggi tanaman tersedia cukup dalam tanah. Keseimbangan unsur dalam tanah memegang peranan penting dalam pembelahan sel dan untuk perkembangan jaringan meristematik tanaman (Misran, 2009).
Perlakuan yang paling baik ialah tanaman yang diberi perlakuan pemupukan, hal ini membantu dalam menyuplai unsur hara bagi tanaman tersebut. Tetapi pada pemberian pupuk kandang memiliki suatu kelebuhan dan kelemahan yaitu:
1.      Lebih lambat bereaksi, karena sebagian besar zat-zat makanan harus mengalami berbagai perubahan terlebih dahulu sebelum diserap tanaman,
2.      Pupuk kandang mempunyai ketidak seimbangan pada unsur Phospor, phospor yang diberikan ke dalam tanah tidak semuanya akan segera diserap oleh tanaman. Oleh karena itu, selalu disarankan dalam penggunaan pupuk kandang harus diikuti dengan pemupukan TSP dan P buatan lainnya.
3.      Mempunyai efek residu, yaitu haranya dapat secara berangsur menjadi bebas dan tersedia bagi tanaman,
4.      Dapat memperbaiki struktur dan menambah bahan organik tanah (Hakim, 1986).












V.    KESIMPULAN
Pemberian pupuk kandang dalam praktikum yang telah kami lakukan tidak menunjukkan suatu hasil yang berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini karena sifat pupuk kandang yang lebih lambat bereaksi, karena sebagian besar zat-zat makanan harus mengalami berbagai perubahan terlebih dahulu sebelum diserap tanaman. Padahal dalam kenyataannya jika tanaman diberi pupuk kandang yang telah terdekomposisi baik dan menyatu dengan tanah, pertumbuhan tanaman akan lebih baik daripada tanaman yang tidak diberikan perlakuan apapun.














DAFTAR PUSTAKA
Hakim, N., M. Yusuf. N., A. M. Lubis., Sutopo. G. N., M. Amin, D., Go B. H., dan H. H Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung.

Misran. 2009. Respon Tanaman Jagung Terhadap Pemberian Bahan Organik Di Lahan Sawah Tadah Hujan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatra Barat.

Yuwono, N. W. 2010. Pengertian Pemupukan. (On-line). http://nasih.wordpress.2010/11/02/Pengertian-pemupukan/ diakses 18 Juni 2012.











I.             PENDAHULUAN
Potensial Hidrostatik (pH) tanah merupakan ukuran keasaman atau kebasaan dalam tanah. pH didefinisikan sebagai logaritma negatif dari aktivitas ion hidrogen (H+) dalam larutan. Hal ini berkisar dari 0 sampai dengan 14 dengan 7 menjadi netral (Anonim, 2012).
Sifat reaksi tanah dan kaitannya dengan pH. Reaksi tanah yang penting adalah masam, netral, dan alkalin (basa). Pernyataan ini didasarkan pada jumlah ion H dan OH dalam larutan tanah. Bila dalam tanah ditemukan ion H lebih banyak dari OH, maka disebut Masam. Bila ion OH sama dengan ion H maka disebut Netral. Sedangkan jika OH lebih banyak daripada ion H disebut Alkalin (Basa).
Untuk menyeragamkan pengertian, sifat reaksi tersebut dinilai berdasarkan konsentrasi ion H dan dinyatakan dengan pH. Dengan kata lain, pH tanah = - log (H) tanah. Suatu tanah disebut masam bila pH-nya kurang dari 7, netral bila sama dengan 7, dan basa bila lebih dari 7. Bila konsentrasi ion H bertambah maka pH turun, sebaliknya bila konsentrasi ion OH bertambah pH naik. Distribusi ion H dalam tanah tidak homogen, ion H lebih banyak dijerap daripada ion OH, maka ion H lebih pekat didekat permukaan koloid, sedangkan ion OH sebaliknya. Dengan demikian pH lebih rendah di dekat koloid daripada tempat yang jauh dari koloid.
Pertumbuhan tanaman dipengaruhi pH tanah melalui dua cara, yaitu:
1.      Pengaruh langsung ion hidrogen
2.      Pengaruh tidak langsung ion hidrogen
Pengaruh tidak langsung yakni tidak tersedianya unsur hara tertentu dan adanya unsur-unsur yang beracun.
Perbedaan-perbedaan pH yang dikehendaki masing-masing tanaman diduga karena adanya perbedaan toleransi dari tanaman-tanaman terhadap kepekatan ion H atau ion beracun lainnya.
Faktor yang mempengaruhi pH tanah, yaitu:
1.      Kejenuhan Basa
Kejenuhan basa adalah perbandingan antara kation basa dengan jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada koloid tanah. Kejenuhan basa mencerminkan perbandingan kation basa dengan kation hidrogen dan alumunium. Kejenuhan basa 100% mencerminkan pH tanah yang netral, kurang dari itu mengarah ke pH tanah masam, sedangkan lebih dari itu mengarah ke basa.
2.      Sifal Koloid (misel)
Sifat koloid yang berbeda-beda dalam mendisosiasikan ion H terjerap menyebabkan pH tanah berbeda pada koloid yang berbeda, walaupun kejenuhannya sama. Koloid organik mudah mendisosiasikan ion H ke dalam larutan tanah. Oleh karena itu pH tanah organik lebih rendah daripada tanah mineral  pada kejenuhan basa yang sama.
3.      Macam Kation yang Terjerap
Koloid yang mengandung Na lebih tinggi, mempunyai nilai pH lebih tinggi pula pada kejenuhan basa yang sama. Hal ini sering sekali kita temukan pada tanah beriklim kering yang kaya Na. Kejadian ini diduga disebabkan oleh koloid yang kaya Na sukar mendisosiasikan ion H, sehingga sumbangan ion H rendah sekali ke dalam larutan tanah (Hakim et al., 1986).
Potensial Hidrostatik (pH) tanah yang optimal bagi pertumbuhan kebanyakan tanaman adalah antara 5,6-6,0. Pada tanah pH lebih rendah dari 5.6 pada umumnya pertumbuhan tanaman menjadi terhambat akibat rendahnya ketersediaan unsur hara penting seperti fosfor dan nitrogen. Bila pH lebih rendah dari 4.0 pada umumnya terjadi kenaikan Al3+ dalam larutan tanah yang berdampak secara fisik merusak sistem perakaran terutama akar-akar muda, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat.
Selain itu pH tanah rendah memungkinkan terjadinya hambatan terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang bermanfaat bagi proses mineralisasi unsur hara seperti N dan P dan mikroorganisme yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, misalnya bakteri tanah yang dapat bersimbiosis degan leguminosae seperti Rhizobium atau bersimbiosis dengan tanaman non leguminosae seperti Frankia sehingga sering dijumpai daun-daun tanaman pada tanah asam mengalami khlorosis akibat kekurangan N. Bakteri tanah yang lain seperti Azotobakter (A. chroococcum ) yang dapat berasosiasi dengan akar tanaman hanya dapat hidup apabila suasana larutan tanah netral hingga basa. Mikroorganisme tanah lain yang bermanfaat bagi tanaman yang dapat terpengaruh pertumbuhannya bila berada pada suasana asam adalah mikoriza. Mikoriza adalah jamur yang dapat melarutkan fosfor organik menjadi fosfor anorganik yang tersedia bagi tanaman.
Sebaliknya bila tanah bersuasana basa (pH > 7) biasanya tanah tersebut kandungan kalsiumnya tinggi, sehingga terjadi fiksasi terhadap fosfat dan tanaman makanan ternak pada tanah basa seringkali mengalami defisiesi P (Kafein4U, 2010).



















II.    METODE PRAKTIKUM
A.    Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu polibag, penggaris, alat tulis, dan timbangan analitik. Bahan yang digunakan dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu pupuk N, P, K, tanah, air, benih (kangkung, padi, dan jagung).

B.     Prosedur Kerja
1.      Tanah yang telah disediakan diambil, kemudian dimasukkan ke dalam polibag yang telah disediakan,
2.      Benih yang telah disiapkan, dimasukkan kedalam polibag yang telah berisi tanah,
3.      Dilakukan pemupukan setelah 1 minggu,
4.      Setelah itu diberi perlakuan sesuai yang dianjurkan yaitu diberi perlakuan dengan menggunakan tanah (basa, masam, dan salin),
5.      Dilakukan pengamatan setiap minggunya dengan mengamati tinggi tanaman,
6.      Setelah 1 bulan tanaman dicabut kemudian ditimbang bobot akar, bobot tajuk, dan bobot tanamannya.




III. HASIL
Tabel 1. Tinggi Tanaman
Perlakuan
Blok
Rerata Perlakuan
I
II
III
P0Jk
12,7
8
9
9,9
P0Jp
30,78
35
7,6
24,46
P0Jj
43,5
17,9
13,2
24,87
P1Jk
0
5,57
1
2,19
P1Jp
0
7,3
3,4
3,57
P1Jj
0
0
6,8
2,27
P2Jk
21,8
4,1
11,7
12,53
P2Jp
34,5
5,1
9,5
16,37
P2Jj
19,9
5,25
15
13,38

Tabel 2. Bobot Akar
Perlakuan
Blok
Rerata Perlakuan
I
II
III
P0Jk
0
0,04
0,26
0,1
P0Jp
0
17,9
0,02
5,97
P0Jj
0,5
0,49
0,13
0,37
P1Jk
0
0,1
0,03
0,04
P1Jp
0
0
0,03
0,01
P1Jj
0
0
0,16
0,05
P2Jk
0
0,4
0,06
0,15
P2Jp
0
0,3
0,02
0,11
P2Jj
0,35
0,47
0,18
0,33

Tabel 3. Bobot Tajuk
Perlakuan
Blok
Rerata Perlakuan
I
II
III
P0Jk
0,37
0,31
0,21
0,3
P0Jp
0,15
0,09
0,05
0,1
P0Jj
1,77
0,96
0,61
1,1
P1Jk
0
0,2
0,1
0,1
P1Jp
0
0,67
0,03
0,23
P1Jj
0
0
0,3
0,1
P2Jk
0,77
0,3
0,57
0,55
P2Jp
1,25
0,23
0,04
0,51
P2Jj
0,13
0,6
0,32
0,35

Tabel 4. Bobot Tanaman
Perlakuan
Blok
Rerata Perlakuan
I
II
III
P0Jk
0,37
0,35
0,24
0,32
P0Jp
0,15
0,14
0,07
0,12
P0Jj
2,2
1,46
0,743
1,47
P1Jk
0
0,67
0,13
0,27
P1Jp
0
0,1
0,06
0,05
P1Jj
0
0
0,46
0,15
P2Jk
0,13
0,4
0,63
0,39
P2Jp
0,77
0,3
0,5
0,52
P2Jj
0,13
1,1
0,07
0,43

Keterangan:
P0 (Masam), P1 (Salin), P2 (Basa), Jk (Kangkung), Jp (Padi), Jj (Jagung).































IV. PEMBAHASAN
Dari hasil pengamatan yang telah didapat, perlakuan dengan tanah masam mempunyai rata-rata tinggi tanaman yang paling baik diantara perlakuan dengan tanah salin dan basa. Hasil rata-rata keseluruhan dari komoditas jagung, kangkung, dan padi yang diberi perlakuan tanah masam didapatkan rata-rata 19,74, rata-rata tanah salin 2,68, dan rata-rata pada tanah basa 14,1.
Hasil pengamatan bobot akar didapatkan hasil yang paling besar yaitu dengan perlakuan masam yaitu rata-rata keseluruhan dari semua komoditas (jagung, padi, dan kangkung) sebesar 2,15 dari pada dengan perlakuan salin rata-ratanya 0,03 sedangkan perlakuan basa rata-ratanya 0,19.
Hasil pengamatan bobot tajuk didapatkan hasil yang paling besar dimiliki pada perlakuan tanah masam yaitu rata-rata keseluruhan dari semua komoditas (jagung, padi, dan kangkung) sebesar 0,5, pada perlakuan tanah salin mempunyai rata-rata 0,14, dan pada tanah basa mempunyai rata-rata 0,47.
Hasil pengamatan bobot tanaman didapatkan hasil yang paling besar yaitu pada perlakuan tanah masam, yaitu rata-rata keseluruhan dari semua komoditas (jagung, padi, dan kangkung) sebesar 0,64, pada perlakuan tanah salin mempunyai rata-rata 0,16, dan pada perlakuan tanah basa mempunyai rata-rata 0,45.
Pertumbuhan tanaman dapat dihambat oleh logam berat. Tetapi tanaman juga berusaha untuk melangsungkan proses hidupnya, dengan beradaptasi terhadap lingkungan dan mengembangkan sifat toleran terhadap logam berat sampai aras yang meracun atau bahkan mematikan.
Menurut saya semua perlakuan yang telah dipraktikumkan tidak ada yang baik, karena semuanya adalah perlakuan yang tidak baik untuk proses kehidupan suatu tumbuhan yang ada. Perlakuan yang baik ialah jika tanaman tumbuh pada lingkungan yang sesuai yaitu pada tanah yang mempunyai pH normal (7). Pada tanah dengan pH yang normal tanaman akan tumbuh secara baik dan pertumbuhannya juga akan cepat ketimbang tanaman yang hidup pada tanah yang bermasalah seperti di tanah masam, basa, ataupun salin.
Pengaruh pH tanah pada tanaman, yaitu:
1.      Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tanaman. Pada umumnya unsur hara akan mudah diserap tanaman pada pH 6-7, karena pada pH tersebut sebagian besar unsur hara akan mudah larut dalam air.
2.      Derajat pH dalam tanah juga menunjukkan keberadaan unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman. Jika tanah masam akan banyak ditemukan unsur alumunium (Al) yang selain meracuni tanaman juga mengikat phosphor sehingga tidak bisa diserap tanaman. Selain itu pada tanah masam juga terlalu banyak unsur mikro yang bisa meracuni tanaman. Sedangkan pada tanah basa banyak ditemukan unsur Na (Natrium) dan Mo (Molibdenum)
3.      Kondisi pH tanah juga menentukan perkembangan mikroorganisme dalam tanah. Pada pH 5,5 – 7 jamur dan bakteri pengurai bahan organik akan tumbuh dengan baik. Demikian juga mikroorganisme yang menguntungkan bagi akar tanaman juga akan berkembang dengan baik.



V.    KESIMPULAN
Meskipun tanaman hidup pada kondisi yang tidak sesuai, tetapi tanaman tersebut tetap berusaha melangsungkan proses hidupnya dengan cara beradaptasi dengan lingkungan dan mengembangkan sifat toleran. Setiap jenis tanaman memiliki kisaran toleransi terhadap lingkungan yang berbeda-beda antara tanaman yang satu dengan yang lain. Hasil dari pengamatan yang telah dilakukan diperoleh hasil perlakuan tanah masam yang paling baik pertumbuhannya daripada perlakuan tanah basa dan tanah salin.














DAFTAR PUSTAKA

Hakim, N., M. Yusuf. N., A. M. Lubis., Sutopo. G. N., M. Amin, D., Go B. H., dan H. H Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung.



































I.       PENDAHULUAN
Manfaat praktikum analaisis vegetasi yaitu supaya dapat mengontrol dan mengupayakan pencegahan untuk menangani berbagai masalah lingkungan sekitar demi terciptanya keseimbangan yang harmonis di alam.
Transek ini selain bertujuan untuk mengetahui potensi alam yang ada pada suatu tempat, tetapi juga bertujuan untuk mengetahui sebaran atau distrisbusi tanaman yang terdapat pada suatu daerah tersebut, sehingga diketahui lebih dalam potensi dan permasalahannya yang dapat dikenali dan ketahui untuk dipecahkan agar dapat terjadi interaksi atau hubungan timbal balik antara manusia dan tumbuhan yang saling menguntungkan baik untuk manusia dan alam itu sendiri. Dalam penelusuran lokasi atau transek vegetasi ini juga perlu diperhatikannya keadaan iklim yan berada di daerah tersebut. Hal ini berguna untuk mengetahui tanaman yang cocok atau mampu bertahan hidup di daerah tersebut sehingga dapat memeberikan pertumbuhan dan perkembangan yang maksimal, diantaranya dari segi topografi atau ketinggian tempat, kelembaban, serta intensitas cahaya yang diperoleh.
Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu:
1.      Pendugaan komposisi vegatasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan membandingkan dengan areal lain,
2.      Menduga keragaman jenis dalam satu areal, dan
3.      Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan tertentu atau beberapa faktor lingkungan.
Evaluasi lahan adalah proses penilaian penampilan atau keragaman lahan jika dipergunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei dan studi bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim, dan aspek lahannya. Agar dapat mengidentifikasikan dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976).
Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Clasification) adalah penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistemik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari.
Kegunaan evaluasi lahan. Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (Land Use Planning) (Bartelli et al., 1976, FAO, 1976). Hasil evaluasi lahan memberikan alternatif penggunaan lahan dan batas-batas kemungkinan penggunaannya serta tindakan-tindakan pengelolaan yang diperlukan agar lahan dapat dipergunakan secara lestari sesuai dengan hambatan atau ancaman yang terdapat. Kegunaannya untuk berbagai tingkat perencanaan  ditentukan oleh tingkat pengamatan atau tingkat survei sumberdaya lahan. Tingkat pengamatan menentukan tingkat kerincian data yang disajikan.
Klasifikasi kemampuan lahan yang dikemukakan oleh Hockensmith dan Stele (1943) dan Klingebiel dan Montgomery (1973). Menurut sistem ini lahan digolongkan ke dalam tiga kategori utama Kelas, Subkelas, dan Satuan Kemampuan atau Pengelolaan.
Pengelompokkan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I samapai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturur-turut dari kelas I sampai VIII. Tanah pada Kelas I sampai IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya (tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput dan hutan. Tanah pada Kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal tanah Kelas V dan VI dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungaan dan bahkan jenis sayuran bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang baik. Tanah dalam Kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami.
Pengelompokkan di dalam subkelas didasarkan atas jenis faktor penghambat atau ancaman. Terdapat empat jenis utama penghambat atau ancaman yang dikenal yaitu: (1) ancaman erosi, (2) ancaman kelebihan air, (3) pembatas perkembangan akar tanaman, dan (4) pembatas iklim.
Pengelompokkan di dalam satuan kemampuan adalah pengelompokkan tanah-tanah yang mempunyai keragaan dan persyaratan yang sama terhadap sistem pengelolaan yang sama bagi usaha tani tanaman pertanian umumnya atau tanaman rumput untuk makanan ternak atau yang lainnya. Tanah-tanah di dalam satu satuan kemampuan sesuai bagi penggunaan usaha tanaman  yang sama dan memberikan  keragaan yang sama terhadap berbagai alternatif pengelolaan  bagi tanaman tersebut. Pendugaan jangka panjang (sepuluh tahun) hasil tanaman yang diusahakan pada setiap lahan dalam satuan kemampuan yang sama dengan pengelolaan yang sama tidak berbeda lebih dari 25%. Hasil tanaman adalah merupakan kriteria yang dipergunakan dalam tingkat satuan kemampuan.
Macam-macam metode analisis vegetasi, yaitu:
1.      Metode Destruktif
Metode ini biasanya dilakukan untuk memahami jumlah materi organik yang dapat dihasilkan oleh suatu komunitas tumbuhan. Variabel yang dipakai bisa diproduktivitas primer, maupun biomassa.
Metode ini sangat membantu dalam menentukan kualitas padang rumput dengan usaha pencairan lahan penggembalaan dan sekaligus menentukan kapasitas tampungnya. Pendekatan yang terbaik untuk metode ini adalah secara floristika, yaitu berdasarkan pengetahuan taksonomi tumbuhan.
2.      Metode nondestruktif
Metode ini dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu berdasarkan penelaahan organisme hidup atau tumbuhan tidak didasrkan taksonominya. Sehingga dikenal metode non floristika. Pendekatan lainnya adalah didasrkan penelaahan organisme tumbuhan secara taksonomi atau pendekatan floristika.
3.      Metode Non Floristik
Penelaahan ini banyak dikembangkan oleh pakar vegetasi. Seperti Du Rietz (1931), Raunkiaer (1934), dan Dansereau (1951). Yang kemudian diekspresikan oleh Eiten (1968), dan UNESCO (1973). Dansereau membagi dunia tumbuhan berdasarkan berbagai hal, yaitu bentuk hidup, ukuran, fungsi daun, bentuk, dan ukuran daun, tekstur daun dan penutupan. Untuk setiap karakteristik dibagi-bagi lagi dalam sifat yang lebih rinci, yang pengungkapannya dinyatakan dalam bentuk simbol huruf dan gambar.
Metode ini biasanya dipergunakan dalam pembuatan peta vegetasi dengan skala kecil sampai sedang, dengan tujuan menggambarkan penyebaran vegetasi berdasarkan penutupannya, dan juga masukan disiplin ilmu yang lainnya (Syafei, 1990).
4.      Metode Floristik
Metode ini berdasarkan pada penelaahan organisme tumbuhan secara taksonomi. Metode ini dapat menentukan kekayaan floristik atau keanekaragaman dari berbagai bentuk vegetasi. Penelaahan dilakukan terhadap semua populasi spesies pembentuk masyarakat tumbuhan tersebut, sehingga pemahaman dari setiap jenis tumbuhan secara taksonomi adalah sangat dibutuhkan. Metode floristik ini ditunjang dengan variabel-variabel yang diperlukan untuk menggambarkan baik struktur maupun komposisi vegetasi, diantaranya adalah Kerapatan (untuk menggambarkan jumlah individu dari populasi sejenis), Kerimbunan (variabel yang menggambarkan luas penutupan suatu populasi di suatu kawasan dan bisa juga menggambarkan luas daerah yang dikuasai oleh populasi tertentu atau dominasinya), dan Frekuensi (variabel yang menggambarkan penyebaran dari populasi di suatu kawasan) (Rohman, 2012).
Dari beberapa metode analisis vegetasi, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan maupun kendala. Sehingga dalam pemilihan metode analisa vegetasi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Tujuan : apa yang di inginkan peneliti atau yang menjadi tujuan menganalisa vegetasi,
2.      Waktu : Apakah si peneliti punya banyak waktu atau terbatas,
3.      Biaya : Apakah biaya yang digunakan / dikeluarkan memadai atau tidak,
4.      Tenaga : Apakah tenaganya memungkinkan atau tidak,
5.      Jenis dan macam data serta informasi, tiap type vegetasi dan habitat memiliki karakteristik sendiri sehingga diperlukan metode tersedia, dan
6.      Kondisi vegetasi / lapangan, pengamatan pada areal terbuka akan berbeda dengan areal berhutan (Puspito, 2010).









II.    METODE PRAKTIKUM
A.    Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu alat tulis, spidol, lux meter, altimeter, higrometer, termometer dan kertas A4. Bahan yang digunakan dalam praktikum yang telah dilakukan yaitu tanaman yang ada di lingkungan sekitar.

B.     Prosedur Kerja
1.      Praktikan ditujukan pada tempat yan akan dijadikan transek kemudian diamati dan diperoleh data,
2.      Dilakukan pengamatan dengan variabel berupa ketinggian tempat, suhu, kelembaban, intensitas cahaya, warna tanah, jenis tanaman, tipe tanaman, distribusi tanaman, sistem tanam, serta sistem irigasi,
3.      Hasil dari pengamatan digambar pada kertas A4 baik dari daerah rendah, tengah (sedang), ataupun atas (tinggi),
4.      Hasil gamabar yang diperoleh dipresentasikan.



III.      HASIL
 (Terlampir)










IV. PEMBAHASAN
Transek adalah teknik penelusuran lokasi untuk mengamati secara langsung keadaan sumberdaya dan lingkungan desa. Arti harafiah dari “Transek” adalah bagian potongan atau irisan dari bentang lahan yang disurvei/dikaji. Teknik ini dilakukan dengan cara berjalan menelusuri wilayah desa mengikuti suatu lintasan tertentu yang telah disepakati bersama (Najiyati et al., 2005).
Hasil pengamatan menunjukkan lokasi bagian bawah mempunyai ketinggian tempat dari 170 sampai 300 mdpl, dengan suhu berkisar antara 230 samapai 30° C, kelembaban rata-rata 30%, pH tanah berkisar antara 5,8 samapai 7,3 dan intenstitas cahaya antara 572 sampai 817 lux. Warna tanah coklat kemerahan berarti tanah pada area tersebut dapat dikatakan subur. Tanaman yang dominan tumbuh pada areal tersebut yaitu padi, jagung, kacang panjang, singkong, durian, cabai, bambu, albasia dan pepaya sistem pertanaman ada yang monokultur dan tumpangsari. Sistem irigasi yang digunakan pada areal ini yaitu non teknis yang artinya tanpa dilakukan pengaturan sistem pengairan misalnya dengan cara mengandalkan air hujan. Selain itu terdapat permasalahan yang dihadapi pada areal ini banyaknya gulma yang tumbuh di tanaman budidaya, hal ini terjadi karena kurangnya perhatian khusus dari sang pemilik lahan tersebut.
Hasil pengamatan pada lokasi bagian tengah didapatkan suatu hasil yaitu pada bagian tengah ketinggian tempat berkisar antara 410 sampai 500 mdpl, pH tanah yang dimiliki antar 6 sampai 7,5, intensitas cahaya matahari berkisar antara 230 sampai 1112 lux, kelembaban antara 20 sampai 36%, dan suhu berkisar 27 sampai 300C kemudian tanaman yang dominasi di lokasi tersebut yaitu jabon, tomat, bambu dan albasia. Sistem pertanaman yang kita amati disana ada yang melakukan pola tanam monokultur, tumpangsari, dan kebun campur hal ini dilakukan sesuai dengan kehendak pemilik tiap lahan yang akan mengolah hasil tersebut. Sistem irigasi non teknis, mereka hanya mengandalkan adanya air hujan saja.
Pada lokasi bagian atas didapatkan suatu hasil pengamatan ketinggian tempat yaitu berkisar antara 500 sampai 620 mdpl, memiliki intensitas cahaya berkisar 344 samai 1238 lux, memiliki suhu rata-rata 24 samapai 300C, dan memilki kelembaban antara 15 sampai 33%. Di lokasi tersebut didominasi tanaman kakao, cabai, cengkih dan albasia. Pola tanam monokultur, tumpangsari, dan intercropping. Sistem irigasi yang ada disana rata-rata menggunakan sistem non teknis yaitu mengandalkan adanya air hujan saja.
Menurut kartasapoetra (1993), pada daerah dengan curah hujan yang tinggi, air hujan yang menimpa tanah akan memberikan dua afek yaitu menghanyutkan bahan organik atau meresapkan bahan organik kedalam tanah. Sehingga pH tanah pada lokasi atas lebih besar karena bahan organik tercuci ke areal yang lebih rendah yang mengakibatkan akumulasi bahan organik di lokasi yang lebih rendah. Peristiwa itu pula yang menyebabkan warna tanah pada daerah bawah sedikit lebih gelap dibandingkan warna tanah pada daerah atas, karena selain bahan organik mempengaruhi pH tanah, juga mempengaruhi warna tanah. (Hardjowigeno,1993).
Secara lebih terperinci, kelas-kelas kemempuan lahan dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a.         Kelas I, Merupakan lahan dengan ciri tanah datar, butiran tanah agak halus, mudah diolah, sangat responsif terhadap pemupukan dan memiliki system pengaliran air yang baik. Tanah kelas I sesuai untuk semua jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan usaha pengawetan tanah. Untuk meningkatkan kesuburannya dapat dilakukan pemupukan.
b.        Kelas II, Merupakan lahan denga ciri lereng landai, butiran tanahnya halus sampai agak kasar. Tanah kelas II agak peka terhadap erosi. Tanah ini sesuai untuk usaha pertanian dengan tindakan pengawetan tanah yang ringan, seperti pengolahan tanah berdasarkan garis ketinggian dan penggunaan pupuk hijau.
c.         Kelas III, Merupakan lahan dengan cirri tanah terletak di daerah yang agak miring dengan sistem pengairan air yang kurang baik. Tanah kelas III sesuai untuk segala jenis usaha pertanian dengan tindakan pengawetan tanah yang khusus seperti pembuatan terasering, pergiliran tanaman dan system penanaman berjalur. Untuk mempertahankan kesuburan tanah perlu pemupukan.
d.        Kelas IV, Merupakan lahan dengan ciri tanah terletak pada wilayah yang miring sekitar 12-30% dengan system pengairan yang buruk. Tanah kelas IV ini masih dapat dijadikan lahan pertanian dengan tingkatan pengawetan tanah yang lebih khusus dan lebih berat.
e.         Kelas V, Merupakan lahan dengan ciri terletak di wilayah yang datar atau agak cekung, namun permukaannya banyak mengandung batu dan tanah liat. Karena terdapat di daerah yang cekung tanah ini seringkali tergenag air sehingga tingkat keasaman tanahnya tinggi. Tanah ini tidak cocok untuk dijadikan lahan pertanian, tetapi inipun lebih sesuai untuk  dijadikan padang rumput atau dihutankan.
f.         Kelas VI, Merupakan lahan dengan ciri ketebalan tanahnya tipis dan terletak di daerah yang agak curam dengan kemiringan lahan sekitar 30-45 %. Lahan kelas VI ini mudah sekali tererosi, sehingga lahan inipun lebih sesuai untuk dijadikan padang rumput atau  dihutankan.
g.        Kelas VII, Merupakan lahan dengan ciri terletak di wilayah yang sangat curam dengan kemiringan antara 45-65 % dan tanahnya sudah mengalami erosi berat. Tanah ini sama sekali tidak sesuai untuk dijadikan lahan pertanian, namun lebih sesuai ditanami tanaman tahunan (tanaman keras).
h.        Kelas VIII, Merupakan lahan dengan ciri terletak di daerah dengan kemiringan di atas 65 %, butiran tanah kasar dan mudah lepas dari induknya. Tanah ini sangat rawan terhadap kerusakan, karena itu lahan kelas VIII harus dibiarkan secara alamiah tanpa campur tangan manusia atau dibuat cagar alam (Arsyad, 1989).
Vegetasi disuatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain karena perbedaan faktor lingkungannya, antara lain:
1.      Faktor Tanah (Edafik)
Tingkat kesuburan tanah merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap penyebaran vegetasi. Makin subur tanah, maka kehidupan tumbuhan makin banyak jumlah dan jenisnya. Faktor tanah meliputi: Morfologi medan, sifat endapan, batuan induk.
2.      Faktor iklim yang berpengaruh terhadap penyebaran vegetasi antara lain:
a.       Suhu,
Suhu perbedaan suhu bukan karena musim, tetapi karena perbedaan ketinggian tempat dan perbedaan siang dan malam. Perbedaan suhu mengakibatkan adanya perbedaan dalam pola penggunaan tanah, terutama dalam jenis tanaman yang diusahakan.
Junghuhn membuat zonasi (pembatasan wilayah) tumbuh-tumbuhan sebagai berikut:
1)      Daerah panas (0-650 m dpl), yaitu kelapa, padi, jagung, tebu, karet.
2)      Daerah sedang (650-1500 m dpl), yaitu kopi, tembakau, teh, sayuran.
3)      Daerah sejuk (1500-2500 m dpl), yaitu teh, sayuran, kina, pinus.
4)      Daerah dingin (> 2500 m dpl), yaitu tidak ada tanaman budidaya.
b.      Kelembaban udara
Kelembaban udara berpengaruh langsung terhadap pola penyebaran vegetasi. Beberapa jenis tumbuhan sangat cocok hidup di wilayah kering, sebaliknya terdapat jenis tumbuhan yang hanya bertahan hidup di atas lahan dengan kadar air yang tinggi.
Berdasarkan tingkat kelembaban, berbagai jenis tumbuhan diklasifikasikan ke dalam 4 kelompok utama, yaitu:
1)      Xerophyta, jenis tumbuhan yang tahan terhadap lingkungan hidup yang kering, contoh kaktus, rumput gurun.
2)      Mesophyta, jenis tumbuhan yang cocok hidup dilingkungan yang lembab, contoh: anggrek, cendawan (jamur).
3)      Hygrophyta, jenis tumbuhan yang cocok hidup dilingkungan yang basah, contoh: eceng gondok, teratai.
4)      Tropophyta, jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi terhadap perubahan musim, contoh: pohon jati.
c.       Angin
Angin berfungsi sebagai alat transportasi yang memindahkan benih beberapa jenis tumbuhan dan membantu penyerbukan. Selain itu angin berfungsi untuk mendistribusikan uap air atau awan yang mengandung hujan dari suatu tempat ke tempat lain.
Contoh: Daerah Kranggan (lereng barat G. Slamet) dengan curah hujan 8.305 mm/tahun (tertinggi di Indonesia). Sebaliknya, keberadaan vegetasi akan mampu menghalangi pergerakan angin, sehingga dapat meningkatkan curah hujan untuk daerah disekitarnya.
d.      Curah hujan
Jumlah curah hujan rata-rata per tahun yang turun di berbagai tempat di Indonesia berkisar antara 500 mm sampai lebih dari 5.000 mm, sehingga sebenarnya tidak seluruh wilayah Indonesia mempunyai iklim tropis basah. Curah hujan sebesar 500 mm setahun sebenarnya sudah mendekati keadaan gurun untuk daerah panas.
Tempat-tempat yang bercurah hujan besar adalah tempat-tempat yang letaknya di pantai barat atau selatan yang langsung menghadapi angin barat, misalnya: Meulaboh (3729 mm), Sibolga (4662 mm), Padang (4453 mm), dan Bengkulu (3299 mm).
Tempat-tempat lain yang bercurah hujan besar adalah tempat-tempat yang terletak pada lereng gunung yang menghadap ke barat dengan ketinggian tertentu, misalnya: Kranggan, lereng barat G. Slamet (8.305 mm/th), Wanayasa, lereng Tangkuban perahu (4543 mm/th), dan Lereng barat Pegunungan Dieng (6649 mm/th).
3.      Faktor Biotik (Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan)
Manusia mampu mengubah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Misalnya daerah hutan diubah menjadi daerah pertanian, perkebunan atau perumahan dengan melakukan penebangan, reboisasi, atau pemupukan. Manusia dapat menyebarkan tumbuhan dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Selain itu faktor hewan juga memiliki peranan terhadap penyebaran tumbuhan. Misalnya serangga dalam proses penyerbukan, kelelawar, burung, tupai membantu dalam penyebaran biji tumbuhan.
Peranan faktor tumbuh-tumbuhan adalah untuk menyuburkan tanah. Tanah yang subur memungkinkan terjadi perkembangan kehidupan tumbuh-tumbuhan. Contohnya bakteri saprophit merupakan jenis tumbuhan mikro yang membantu penghancuran sampah-sampah di tanah sehingga dapat menyuburkan tanah (Maryanto, J dan Suwardi, 2012).



V.    KESIMPULAN
1)      Transek adalah bagian potongan atau irisan dari bentang lahan yang disurvei/dikaji. Teknik ini dilakukan dengan cara berjalan menelusuri wilayah desa mengikuti suatu lintasan tertentu yang telah disepakati bersama.
2)      Vegetasi disuatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain karena perbedaan faktor lingkungannya, antara lain:
a.       Faktor Tanah (Edafik)
b.      Faktor iklim, yang berpengaruh terhadap penyebaran vegetasi antara lain:
                         1.  Suhu
                         2.  Kelembaban Udara
                         3.  Angin
                         4.  Curah Hujan
c.       Faktor Biotik (Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan)









DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB, Bogor.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Presindo,   Jakarta.

Kartasapoetra, A.G. 1993. Klimatologi Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman. Bumi Aksara, Jakarta.

Maryanto, J dan Suwardi. 2012. Faktor-Faktor yang Berperan terhadap Penyebaran Vegetasi. (On-line). http://www.scribd.com/doc/91878860/ANALISIS-VEGETASI diakses 20 Juni 2012.

Puspito, I. 2010. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. (On-line). http://talkeharjuna.blogspot.com/2010/12/ksdahe.html diakses 20 Juni 2012.


Syafei, E.S. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. ITB, Bandung.









Lampiran
05062012671.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar