I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada saat
terjadi kekeringan, sebagian stomata daun menutup sehingga terjadi hambatan
masuknya CO2 dan menurunkan aktivitas fotosintesis. Selain
menghambat aktivitas fotosintesis, cekaman kekeringan juga menghambat sintesis protein
dan dinding sel. Pengaruh cekaman kekeringan tidak saja menekan pertumbuhan dan
hasil bahkan menjadi penyebab kematian tanaman.
Mekanisme
ketahanan tanaman terhadap adanya cekaman kekeringan berbeda antar tanaman.
Hasil pengamatan karakter morfo-fisiologis tanaman ubi jalar telah dilaporkan bahwa
untuk mendapatkan air padas aat adanya cekaman kekeringan, akar tanaman ubi
jalar mempunyai kemampuan menembus tanah sampai lebih dari 2 m dari permukaan
tanah (Onwueme, 1978). Selanjutnya Suardi (2002) melaporkan bahwa kemampuan akar
padi menembus lapisan lilin setebal 3-4 mm merupakan indikator ketahanan
tanaman padi terhadap cekaman kekeringan.
B.
Tujuan
1. Mengetahui
respon dan perbedaan pertumbuhan tanaman dalam kondisi cekaman kekurangan air
2. Mengetahui
genotipe tanaman yang toleran terhadap cekaman kekurangan air
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Pada tanaman
yang toleran terhadap cekaman kekeringan terjadi mekanisme mempertahankan
turgor agar tetap di atas nol sehingga potensial air jaringan tetap rendah
dibandingkan potensial air eksternal sehingga tidak terjadi plasmolisis (Jones
and Turner, 1980).
Kemampuan
mengontrol terhadap transpirasi juga merupakan salah satu mekanisme ketahanan
tanaman terhadap adanya cekaman kekeringan (Pitono et al., 2008). Selanjutnya dilaporkan
pula bahwa ukuran daun yang kecil dan sukulen mengurangi laju kehilangan air
melalui tanspirasi (Farooq et al., 2009).
Kandungan prolin
pada tanaman yang toleran terlihat meningkat akumulasinya dibandingkan tanaman yang
peka terhadap kekeringan (Yoshida et al., 1997). Oleh karenanya, kadar prolin
bisa digunakan sebagai salah satu indikator sifat ketahanan terhadap cekaman
kekeringan.
Air adalah salah
satu komponen fisik yang sangat vital dan dibutuhkan dalam jumlah besar untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sebanyak 85-90 % dari bobot segar sel-sel
dan jaringan tanaman tinggi adalah air (Maynard dan Orcott, 1987).
Kehilangan air
pada jaringan tanaman akan menurunkan turgor sel, meningkatkan konsentrasi
makro molekul serta senyawa-senyawa dengan berat molekul rendah, mempengaruhi
membran sel dan potensi aktivitas kimia air dalam tanaman (Mubiyanto, 1997).
Peran air yang sangat penting tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa langsung
atau tidak langsung kekurangan air pada tanaman akan mempengaruhi semua proses
metaboliknya sehingga dapat menurunkan pertumbuhan tanaman.
Air yang
tersedia dalam tanah adalah selisih antara air yang terdapat pada kapasitas
lapang dan titik layu permanen. Diatas kapasitas lapang air akan meresap ke
bawah atau menggenang, sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Di bawah
titik layu permanen tanaman tidak mampu lagi menyerap air karena daya adhesi
air dengan butir tanah terlalu kuat dibandingkan dengan daya serap tanaman.
Cekaman kekeringan pada tanaman disebabkan oleh kekurangan suplai air di daerah
perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun dalam kondisi laju
evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air oleh akar tanaman. Serapan air oleh
akar tanaman dipengaruhi oleh laju transpirasi, sistem perakaran, dan
ketersediaan air tanah (Lakitan, 1996).
Respon tanaman
yang mengalami cekaman kekeringan mencakup perubahan ditingkat seluler dan
molekuler seperti perubahan pada pertumbuhan tanaman, volume sel menjadi lebih
kecil, penurunan luas daun, daun menjadi tebal, adanya rambut pada daun,
peningakatan ratio akar-tajuk, sensitivitas stomata, penurunan laju
fotosintesis, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen, perubahan produksi
aktivitas enzim dan hormon, serta pe-rubahan ekspresi gen (Kramer, 1980;
Pennypacker Pugnaire, Serrano dan Pardos, 1990; Mullet dan Whissit, 1996;
Navari-Izzo dan Rascio, 1999; Pugnaire et al, 1999).
Secara umum
tanaman akan menunjukkan respon tertentu bila mengalami cekaman kekeringan.
Respon tanaman terhadap stres air sangat ditentukan oleh tingkat stres yang
dialami dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman. Bila tanaman
dihadapkan pada kondisi kering terdapat dua macam tanggapan yang dapat
memperbaiki status air, yaitu (1) tanaman mengubah distribusi asimilat baru untuk
mendukung pertumbuhan akar dengan mengorbankan tajuk, sehingga dapat meningkatkan
kapasitas akar menyerap air serta menghambat pemekaran daun untuk mengurangi
transpirasi. (2) tanaman akan mengatur derajat pembukaan stomata untuk menghambat
kehilangan air lewat transpirasi (Mansfield dan Atkinson, 1990).
Terdapat
perbedaan tingkat kadar ABA yang terbentuk antara tanaman yang toleran terhadap
cekaman kekeringan dibanding dengan tanaman yang peka. Kadar ABA pada tanaman
yang toleran lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang peka, sehingga ABA
selalu dikaitkan dengan sifat toleran tanaman terhadap cekaman kekeringan
(Kirkham, 1990; Olsen et al., 1992; Farran et al., 1996; Fernandez, Perry dan
Flore, 1997; Carrier et al., 1997; Setiawan, 1998).
III.
METODE
PRAKTIKUM
A.
Alat
dan Bahan
1. Alat
yang digunakan alat Penyiram, kantong plastik, kertas label, penggaris, alat
tulis, timbangan analitik, oven, dan amplop
2. Bahan
yang digunakan benih tomat dengan 3 varietas (tantyna, diana, dan victori)
B.
Rancangan
Lapang
Rancangan
lapang menggunakan RAKL diulang sebanyak tiga kali.
C.
Prosedur
Kerja
1. Disiapkan
tanah sebgai media tanam, tanah dimasukkan kedalam polibag kemudian disiram
dengan air hingga mencapai kapasitas lapang. Polibag yang telah berisi tanah
dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama sebagai kontrol (K0) dan
kelompok kedua sebagai perlakuan kekeringan (K1)
2. Benih
yang akan ditanam dipilih yang baik dan bernas
3. Tiap
polibag berisi 3 benih
4. Polibag
diletakkan sesuai dengan perlakuan yang sudah ditentukan yaitu dengan RAKL, dan
dilakukan ulangan sebanyak 3 kali
5. Tanaman
kontrol disiram mencapai kapasitas lapang
6. Tanaman
sebagai perlakuan cekaman kekeringan dilakukan pada saat berumur 7 hari dan 21
hari yaitu dengan menyiram tanaman ½ kapasitas lapang
7. Pengamatan
dialakukan sampai akhir praktikum dengan mengamati tinggi tanaman, dan panjang
akar terpanjang
8. Tanaman
di oven selama 3 hari kemudian diukur bobot kering tanaman. Bobot keing tajuk,
bobot kering akar, dan rasio akar/tajuk
D.
Analisi
Data
(Terlampir)
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Pengamatan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
B.
Pembahasan
Kekeringan
menimbulkan cekaman bagi tanaman yang tidak tahan kering. Kekeringan terjadi
jika lengas tanah lebih rendah dari titik layu tetap, kondisi ini timbul karena
tidak adanya tambahan lengas baik dari air hujan maupun irigasi sementara evapotranspirasi
tetap berlangsung.
Air adalah salah
satu komponen fisik yang sangat vital dan dibutuhkan dalam jumlah besar untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sebanyak 85-90 % dari bobot segar sel-sel
dan jaringan tanaman tinggi adalah air (Maynard dan Orcott, 1987).
Fungsi air bagi
tanaman menurut Noggle dan Frizt (1983) yaitu:
1. Senyawa
utama pembentuk protoplasma
2. Senyawa
pelarut bagi masuknya mineral-mineral dari larutan tanah ke tanaman dan sebagai
pelarut mineral nutrisi yang akan diangkut dari satu bagian sel ke bagian sel
lain
3. Media
terjadinya reaksi-reaksi metabolik
4. Reaktan
pada sejumlah reaksi metabolisme seperti siklus asam trikarboksilat
5. Penghasil
hidrogen pada proses fotosintesis
6. Menjaga
turgiditas sel dan berperan sebagai tenaga mekanik dalam pembesaran sel
7. Mengatur
mekanisme gerakan tanaman seperti membuka dan menutupnya stomata, membuka dan
menutupnya bunga serta melipatnya daun-daun tanaman tertent
8. Berperan
dalam perpanjangan sel
9. Bahan
metabolisme dan produk akhir respirasi
10. Digunakan
dalam proses respirasi.
Respon tanaman
yang mengalami cekaman kekeringan mencakup perubahan ditingkat seluler dan
molekuler seperti perubahan pada pertumbuhan tanaman, volume sel menjadi lebih
kecil, penurunan luas daun, daun menjadi tebal, adanya rambut pada daun,
peningakatan ratio akar-tajuk, sensitivitas stomata, penurunan laju
fotosintesis, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen, perubahan produksi
aktivitas enzim dan hormon, serta pe-rubahan ekspresi gen.
Stres air
merupakan kondisi yang mengganggu keseimbangan pertumbuhan tanaman yaitu
terjadinya kekurangan atau kelebihan air di lingkungan tanaman. Stres terjadi
ketika tanaman tidak mampu menyerap air untuk menggantikan kehilangan akibat
transpirasi sehingga terjadi kelayuan, gangguan pertumbuhan, bahkan kematian.
Cekaman kekeringan pada tanaman
disebabkan oleh kekurangan suplai air di daerah perakaran dan permintaan air
yang berlebihan oleh daun dalam kondisi laju evapotranspirasi melebihi laju
absorbsi air oleh akar tanaman. Serapan air oleh akar tanaman dipengaruhi oleh
laju transpirasi, sistem perakaran, dan ketersediaan air tanah (Lakitan, 1996).
Secara umum tanaman akan menunjukkan respon tertentu bila mengalami cekaman
kekeringan. Staff Lab Ilmu Tanaman (2008) mengemukakan bahwa cekaman kekeringan
dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu:
1. Cekaman
ringan :jika potensial air daun menurun 0.1 Mpa atau kandungan air nisbi
menurun 8 – 10 %
2. Cekaman
sedang: jika potensial air daun menurun 1.2 s/d 1.5 Mpa atau kandungan air
nisbi menurun 10 – 20 %
3. Cekaman
berat: jika potensial air daun menurun >1.5 Mpa atau kandungan air nisbi
menurun > 20%
Tumbuhan merespon kekurangan air
dengan mengurangi laju transpirasi untuk penghematan air. Terjadinya kekurangan
air pada daun akan menyebabkan sel-sel penjaga kehilangan turgornya. Suatu
mekanisme kontrol tunggal yang memperlambat transpirasi dengan cara menutup
stomata. Kekurangan air juga merangsang peningkatan sintesis dan pembebasan
asam absisat dari sel-sel mesofil daun. Hormon ini membantu mempertahankan
stomata tetap tertutup dengan cara bekerja pada membrane sel penjaga. Daun juga
merespon terhadap kekurangan air dengan cara lain. Karena pembesaran sel adalah
suatu proses yang tergantung pada turgor, maka kekurangan air akan menghambat
pertumbuhan daun muda. Respon ini meminimumkan kehilangan air melalui
transpirasi dengan cara memperlambat peningkatan luas permukaan daun. Ketika
daun dari kebanyakan rumput dan kebanyakan tumbuhan lain layu akibat kekurangan
air, mereka akan menggulung menjadi suatu bentuk yang dapat mengurangi
transpirasi dengan cara memaparkan sedikit saja permukaan daun ke matahari
(Campbell, 2003).
Respons tanaman
terhadap kekeringan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu tanaman yang
menghindari kekeringan (drought avoiders) dan tanaman yang mentoleransi
kekeringan (drought tolerators). Tanaman yang menghindari kekeringan
membatasi aktivitasnya pada periode air tersedia maksimum antara lain dengan
meningkatkan jumlah akar dan modifikasi struktur dan posisi daun. Tanaman yang
mentoleransi kekeringan mencakup penundaan dehidrasi atau mentoleransi
dehidrasi. Penundaan dehidrasi mencakup peningkatan sensivitas stomata dan
perbedaan jalur fotosintesis, sedangkan toleransi dehidrasi mencakup penyesuaian
osmotik.
Kedalaman perakaran sangat
berpengaruh terhadap jumlah air yang diserap. Pada umumnya tanaman dengan
pengairan yang baik mempunyai sistem perakaran yang lebih panjang daripada
tanaman yang tumbuh pada tempat yang kering. Rendahnya kadar air tanah akan
menurunkan perpanjangan akar, kedalaman penetrasi dan diameter akar (Haryati,
2006). Hasil penelitian Nour dan Weibel tahun 1978 menunjukkan bahwa kultivar-kultivar
sorghum yang lebih tahan terhadap kekeringan, mempunyai perkaran yang lebih
banyak, volume akar lebih besar dan nisbah akar tajuk lebih tinggi daripada
lini-lini yang rentan kekeringan (Goldsworthy dan Fisher, dalam Haryati, 2006).
Pengaruh cekaman kekeringan terhadap
respon tanaman yaitu:
1.
Dilihat dari panjang akar, pada
tanaman varietas Victori memiliki jenis perakaran lebih pendek dari pada
varietas tantyna dan diana. Varietas victori menunjukkan bahwa varietas
tersebut tahan terhadap cekaman kekeringan. Seperti yang telah dijelaskan
diatas, tanaman yang tahan terhadap kekeringan memiliki akar lebih pendek dari
pada tanaman yang tersuplai air yang cukup.
2.
Dilihat dari bobot kering tanaman,
tanaman sebagai kontrol pada varietas victori memiliki bobot kering tanaman
lebih besar dari pada varietas tantyna dan diana. Sedangkan pada tanaman yang
diberi perlakuan, varietas yang memiliki bobot kering paling rendah ialah
varietas victori. Hal ini menunjukkan bahwa varietas victori sanggup
menyesuaikan keadaan lingkungannya, karena ketika tanaman terpenuhi asupan
airnya, ia memiliki bobot yang besar dan ketika tanaman tersebut hidup di
tempat kekurangan air secara otomatis dia akan menyusut bobotnya. Varietas
victori menunjukkan varietas yang tahan terhadap kekeringan.
3.
Dilihat dari bobot tajuk dan bobot
akar, tanaman tomat dengan varietas victori sebagai kontrol yang memilki bobot
paling besar ialah varietas victori. Sedangkan tanaman tomat yang diberi
perlakuan, dan memilki bobot terendah ialah victori. Hal ini membuktikan
varietas victori dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1. Respon
tanaman terhadap cekaman kekeringan yaitu dengan mengubah morfologi bagian
tanaman yang ada, yaitu bobot kering, bobot tajuk, bobot akar tanaman akan lebih kecil daripada tanaman
yang suplai airnya terpenuhi. Sedangkan panjang akar tanaman yang kekurangan
suplai air memilki perakaran yang lebih pendek serta lebih banyak perakarannya
dan tanaman yang terpenuhi air memiliki struktur akar yang lebih panjang.
2. Varietas
yang tahan tehadap cekaman kekeringan yaitu victori, karena dia dapat
menyesuaikan bentuk morfologi bagian tanaman untuk bisa bertahan hidup.
B.
Saran
Pada saat
melakukuan praktikum dilakukan dengan sungguh-sungguh agar bisa diperoleh data
yang benar dan bisa diketahui varietas mana yang tahan terhadap cekaman kekeringan.
DAFTAR
PUSTAKA
Farooq,
M., A. Wahid, N. Kobayashi, D. Fujita, and S.M.A. Basra. 2009. Plant drought
stress: effects, mechanisms, and management. Agron. Sustain. Dev. 29 (2009) :
185-212.
Jones,
M.M. and N.C. Turner. 1980. Osmotic adjustment in expanding and fully expanded
leaves of sunflower in response to drought deficit. Proc. Indian. Nat. Sci.
Acad. 3 (57) : 288-304.
Kirkham.
M. B. 1990. Plant responses to water deficit. P 323-342. In B. A.
Stewart and D. R. Nielsen (Ed.) Irrigation of agricultural crops. Madison, Winsconsin
USA.
Lakitan,
Benyamin. 1996. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Mansfield.,
T.A. and C. J. Atkinson. 1990. Stomatal behavior in water stressed plants. P.
241-246. In Alscher ang Cumming (Ed.). Stress respons in plant: adaptation and
acclimation mechanisms. Wiley-Liss, Inc., New York.
Maynard,
G.H. and D.M. Orcott. 1987. The physiology of plants under stress. John Wiley
& Sons, Inc. New York. 206 p.
Mubiyanto,
B.M. 1997. Tanggapan tanaman kopi terhadap cekaman air. Warta Puslit Kopi dan
Kakao 13(2): 83-95.
Yoshida,
Y., T. Kiyosue, K. Y. Shinozaki, and K. Shinozaki. 1997. Regulation of levels
of proline as an osmolyte in plants under drought stress. Plant Cell
Physiology. 38 (10) : 1095-1102.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Stres (cekaman)
biasanya didefinisikan sebagai faktor luar yang tidak menguntungkan yang
berpengaruh buruk terhadap tanaman. Cekaman sebagai kondisi lingkungan yang
dapat memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan, reproduksi, dan kelangsungan
hidup tumbuhan. Kekringan dapat terjadi jika lengas tanah lebih rendah dari
titik layu tetap. Kondisi ini timbul karena tidak adanya tambahan lengas baik
dari air hujan maupun irigasi sementara evaporasi tetap berlangsung.
Menurut Hidayat
(2002) cekaman lingkungan pada tumbuhan dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1. Cekaman
biotik, terdiri dari: kompetisi intra spesies dan antar spesies, dan infeksi oleh
hama dan penyakit.
2. Cekaman
abiotik, terdiri dari: suhu (tinggi dan rendah), air (kelebihan dan kekurangan),
radiasi (ultraviolet, infra merah, dan radiasi mengionisasi), kimiawi (garam,
gas, dan pestisida), angin, dan suara.
B.
Tujuan
1. Mengetahui
respon dan perbedaan pertumbuhan tanaman dalam kondisi cekaman kelebihan air
2. Mengetahui
genotipe tanaman yang toleran terhadap cekaman kelebihan air
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Kerusakan yang
timbul akibat stres dapat dikelompokkan dalam 3 jenis kerusakan yaitu:
a) Kerusakan
stres langsung primer
b) Kerusakan
stres tak langsung primer
c) Kerusakan
stres sekunder (dapat terjadi juga stres tersier) (Sipayung, 2006).
Genangan
berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi,
permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan menyebabkan
kematian akar di kedalaman tertentu dan hal ini akan memacu pembentukan akar
adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan
(Staff Lab Ilmu Tanaman, 2008).
Dampak genangan:
menurunkan pertukaran gas antara tanah dan udara yang mengakibatkan menurunnya
ketersediaan O2 bagi akar, menghambat pasokan O2 bagi
akar dan mikroorganisme (mendorong udara keluar dari pori tanah maupun
menghambat laju difusi). Besarnya kerusakan tanaman sebagai dampak genangan
tergantung pada fase pertumbuhan tanaman. Fase yang peka genangan fase
perkecambahan, fase pembungaan, dan pengisian (Askari, 2007).
Tanaman yang
tergenang dalam waktu singkat akan mengalami kondisi hipoksia (kekurangan O2).
Hipoksia biasanya terjadi jika hanya bagian akar tanaman yang tergenang (bagian
tajuk tidak tergenang) atau tanaman tergenang dalam periode yang panjang tetapi
akar berada dekat permukaan tanah. Jika tanaman tergenang seluruhnya, akar
tanaman berada jauh di dalam permukaan tanah dan mengalami penggenangan lebih panjang
sehingga tanaman berada pada kondisi anoksia (keadaan lingkungan tanpa O2).
Kondisi anoksia tercapai 6−8 jam setelah penggenangan, karena O2 terdesak
oleh air dan sisa O2 dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Pada kondisi tergenang,
kandungan O2 yang tersisa dalam tanah lebih cepat habis bila terdapat
tanaman karena laju difusi O2 di tanah basah 10.000 kali lebih
lambat dibandingkan dengan di udara (Amstrong 1979 dalam Dennis et al. 2000).
Ada dua
perubahan lingkungan yang terjadi saat rendaman, yaitu aerobik ke anaerobik dan
sebaliknya dari anaerobik ke aerobik setelah air berkurang. Faktor kunci untuk
adaptasi dari aerobik ke anaerobik adalah suplai energi. Asimilasi karbon
selama terendam akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suplai CO2,
radiasi matahari, kapasitas fotosintesis di bawah permukaan air yang dilemahkan
oleh klorosis. Efisiensi penggunaan energi selama rendaman juga penting untuk
adaptasi pada lingkungan anaerob (Kawano et al. 2008).
Pengaruh
penggenangan ditunjukkan oleh daun yang menguning, pengguguran daun pada buku
terbawah, kerdil, serta berkurangnya berat kering dan hasil tanaman (Scott, 1989).
Kekurangan
oksigen dalam tanah akibat genangan merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan
produktivitas tanaman. Kekurangan oksigen menggeser metabolisme energi dari
aerob menjadi anaerob sehingga berpengaruh kurang baik terhadap serapan nutrisi
dan air. Akibatnya, tanaman menunjukkan gejala kelayuan walaupun tersedia
banyak air (Sairam, 2009).
VanToai et al. (2001)
membagi genangan berdasarkan kondisi pertanaman menjadi dua yaitu:
1. Kondisi
jenuh air (waterlogging) di mana
hanya akar tanaman yang tergenang air
2. Kondisi
bagian tanaman sepenuhnya tergenang air (complete
submergence).
Oksigen
merupakan syarat dalam respirasi tanaman, sehingga pada saat tanaman tergenang
dan dalam kondisi anaerob, aktivitas glikolitik akan menghasilkan asam piruvat
dari glukosa yang dikonversi menjadi etanol dan karbon dioksida (Riche 2004).
III.
METODE
PRAKTIKUM
A.
Alat
dan Bahan
1. Alat
yang digunakan alat Penyiram, kantong plastik, kertas label, penggaris, alat
tulis, timbangan analitik, oven, dan amplop
2. Bahan
yang digunakan benih kedelai dengan 3 varietas (raja basa, tidar dan mitani)
B.
Rancangan
Lapang
Rancangan
lapang menggunakan RAKL diulang sebanyak tiga kali
C.
Prosedur
Kerja
1. Disiapkan
tanah sebgai media tanam, tanah dimasukkan kedalam polibag kemudian disiram
dengan air hingga mencapai kapasitas lapang. Polibag yang telah berisi tanah
dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama sebagai kontrol (G0) dan
kelompok kedua sebagai perlakuan genangan (G1)
2. Benih
yang akan ditanam dipilih yang baik dan bernas
3. Tiap
polibag berisi 3 benih
4. Polibag
diletakkan sesuai dengan perlakuan yang sudah ditentukan yaitu dengan RAKL, dan
dilakukan ulangan sebanyak 3 kali
5. Tanaman
kontrol disiram mencapai kapasitas lapang
6. Tanaman
sebagai perlakuan cekaman genangan dilakukan pada saat berumur 7 hari dan 21
hari yaitu dengan cara menggenangi tanaman kira-kira batas air setinggi 3 cm
7. Pengamatan
dialakukan sampai akhir praktikum dengan mengamati tinggi tanaman, dan panjang
akar terpanjang
8. Tanaman
di oven selama 3 hari kemudian diukur bobot kering tanaman. Bobot keing tajuk,
bobot kering akar, dan rasio akar/tajuk
D.
Analisi
Data
(Terlampir)
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Pengamatan
|
|
|
|
|
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
B.
Pembahasan
Kandungan lengas
tanah di atas kapasitas lapangan menimbulkan dampak yang buruk terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman. Dampak genangan: menurunkan pertukaran gas
antara tanah dan udara yang mengakibatkan menurunnya ketersediaan O2
bagi akar, menghambat pasokan O2 bagi akar dan mikroorganisme
(mendorong udara keluar dari pori tanah maupun menghambat laju difusi). Pada
kondisi genangan < 10% volume pori yang berisi udara. Sebagian besar tanaman
pertumbuhan akarnya terhambat bila < 10% volume pori yang berisi udara dan
laju difusi O2 kurang dari 0.2 ug/cm2/menit.
Keadaan
lingkungan kekurangan O2 disebut hipoksia, dan keadaan lingkungan
tanpa O2 disebut anoksia (mengalami cekaman aerasi). Kondisi anoksia
tercapai pada jangka waktu 6 – 8 jam setelah genangan, karena O2 terdesak
oleh air dan sisa O2 dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Pada kondisi
tergenang, kandungan O2 yang tersisa di tanah lebih cepat habis bila
ada tanaman.
Laju difusi O2
di tanah basah 20000 kali lebih lambat dibandingkan di udar. Laju penurunan O2
ini dipengaruhi oleh tekstur tanah, pada tanah pasir, kehabisan O2
terjadi pada 3 hari setelah tergenang sedangkan pada tanah lempung terjadi <
1 hari, porositas lempungan lebih rendah daripada pasir. Penurunan O2
dipercepat oleh keberadaan tanaman di lahan, akar tanaman menyerap untuk melakukan
respirasi. Akar tanaman legum berbintil memerlukan O2 enam kali
lebih banyak dibandingkan yang dibuang bintilnya (30 : 4.3 ul O2/g/menit).
Genangan selain menimbulkan penurunan difusi O2
masuk ke pori juga akan menghambat difusi gas lainnya, misal keluarnya CO2
dari pori tanah. CO2 terakumulasi di pori, pada tanah yang baru saja
tergenang 50% gas terlarut adalah CO2, sebagian tanaman tidak mampu
menahan keadaan tersebut dampak kelebihan konsentrasi
CO2 mempunyai pengaruh lebih kecil dibandingkan defisiensi O2.
Genangan mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Struktur tanah
rusak, daya rekat agregat lemah, penurunan potensial redoks, peningkatan pH
tanah masam, penurunan pH tanah basa, perubahan daya hantar dan kekuatan ion,
perubahan keseimbangan hara.
Tanaman yang
tergenang menunjukkan gejala klorosis khas kahat N. Kekahatan N terjadi karena
penurunan ketersediaan N maupun penurunan penyerapannya. Pada kondisi tergenang
ketersediaan N dalam bentuk nitrat sangat rendah karena proses denitrifikasi,
nitrat diubah menjadi N2, NO, N2O, atau NO2
yang menguap ke udara. Pada proses denitrifikasi, nitrat digunakan oleh bakteri
aerob sebagai penerima elektron dalam proses respirasi.
Genangan
berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi,
permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan menyebabkan
kematian akar di kedalaman tertentu, hal ini akan memacu pembentukan akar
adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan.
Kematian akar menjadi penyebab kekahatan N dan cekaman kekeringan fisiologis.
Besarnya
kerusakan tanaman sebagai dampak genangan tergantung pada fase pertumbuhan tanaman.
Fase yang peka genangan antar lain fase perkecambahan, fase pembungaan, dan
pengisian. Genangan pada fase perkecambahan menurunkan jumlah biji yang
berkecambah (perkecambahan sangat memerlukan O2). Genangan yang
terjadi pada fase pembungaan dan pengisian menyebabkan banyak bunga dan buah
muda gugur (Anonim, 2009).
Toleransi
terhadap genangan dapat didefinisikan sebgai kemampuan tanaman untuk
mempertahankan hasil optimal pada kondisi tergenang (VanToai et al,. 1994).
Terdapat beberapa yang mempengaruhi toleransi kedelai terhadap genangan yaitu:
1. Varietas
: skrining varietas kedelai selama 2 minggu pada keadaan tergenang menunjukkan
penurunan hasil rata-rata 61% yaitu 39% pada varietas toleran dan 77% pada
varietas kurang toleran (Shannon et al., 2005)
2. Fase
pertumbuhan tanaman dan lamanya tergenang. Penggenangan pada fase vegetatif
kurang berpengaruh terhadap penurunan hasil dibandingkan dengan fase generatif.
3. Tekstur
tanah. Jenis tanah nyata mempengaruhi respon tanaman kedelai terhadap genangan.
Pada tanah liat kehilangan hasil akibat genangan akan lebih besar jika
dibandingkan pada tanah lempung berdebu.
4. Derajat kelembaban. Suhu selama penggenangan
mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap genangan. Suhu tinggi dan sinar
matahari menyebabkan tanaman dan mikroba berespirasi lebih cepat sehingga
menghabiskan oksigen dan menambah karbondioksida. Sebaliknya pada suhu rendah,
cuaca berawan dan malam hari yang cerah dapat menambah ketahanan tanaman pada
genangan.
5. Kehadiran
penyakit. Genangan juga memberikan efek tidak langsung terhadap hasil kedelai
yaitu timbulnya penyakit pada akar. Tanaman yang tergenang dapat memudahkan
tanaman terserang penyakit seperti Phytophthora
sp. Penyakit ini akan menyebabkan benih mati pada fase perkecambahan.
Mekanisme toleransi terhadap genangan
Ketahanan
tanaman terhadap genangan dapat berupa penghindaran kekurangan oksigen dari
daun ke akar, dan kemampuan tanaman untuk melakukan metabolisme atau dengan
kata lain pada kondisi tersebut respirasi berlangsung secara anaerob. Dalam
kondisi tergenang tanaman akan mengaktifkan proses fermentasi utama yaitu
etanol, asam laktat yang akan membentuk alanin dari glutamat dan piruvat.
Menurut VanToai et al, kedelai mersepon kondisi genangan dengan mengaktifkan
metabolisme atau pemulihan secara cepat setelah terjadi cekaman genangan
diikuti dengan aklimatisasi (penyesuaian diri). Waktu yang dibutuhkan untuk
pemulihan lebih cepat 2-4 hari pada kedelai yang toleran dibandingkan dengan
yang peka. Hal ini menunjukkan pada proses penyesuaian diri pada genotipe yang toleran
lebih cepat dibandingkan dengan yang peka.
Tanaman yang
mampu beradaptasi pada kondisi tergenang dicirikan oleh kemampuan mengatasi
stres dengan membentuk aerenkim, meningkatkan gula yang dapat larut,
memperbanyak aktivitas glikolitik dan enzim fermentasi serta mekanisme
ketahanan antioksidan untuk mengatasi kondisi setelah hipoksia dan anoksia
(Sairam et al, 2008).
Menurut
Bacanamwo dan Purcell (1999), kedelai beradaptasi terhadap genangan dengan
mengalokasikan fotosintesis dengan cara mengembangkan akar adventif dan
membentuk aerenkim yang bergantung pada fiksasi N2.
Dari hasil
pengamatan yang telah dilakukan ada suatu perbedaan tinggi tanaman yang diberi
perlakuan genangan. Pada varietas 1 (raja basa) berbeda nyata dengan Varietas 2
(tidar) dan varietas 3 (mitani). Pada bobot kering antara tanaman kedelai
sebagai kontrol dengan tanaman kedelai yang diberi perlakuan tidak berbeda
nyata bobot keringnya. Sedangkan pada panjang akar dan bobot akar antar
varietas yang diberi perlakuan ataupun sebagai kontrol tidak menunjukkan suatu
perbedaan yang nyata.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1. Genangan
berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimiawi antara lain respirasi,
permeabilitas akar, penyerapan air dan hara, penyematan N. Genangan menyebabkan
kematian akar di kedalaman tertentu sehingga akan memacu pembentukan akar
adventif pada bagian di dekat permukaan tanah pada tanaman yang tahan genangan.
Kematian akar menjadi penyebab kekahatan N dan cekaman kekeringan fisiologis.
2. Pada
varietas kedelai yang dipraktikumkan belum menunjukkan perbedaan yang nyata dan
belum bisa ditentukan varietas mana yang tahan terhadap genangan.
B.
Saran
Pada saat
melakukuan praktikum dilakukan dengan sungguh-sungguh agar bisa diperoleh data
yang benar dan bisa diketahui varietas mana yang tahan terhadap cekaman
genangan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2009. Hubungan Air dan Tanaman. (On-line).
http://ekotumb0709.blogspot.com/2011/03/hubungan-air-dan-tanaman.html
diakses 24 Mei 2012.
Bacanamwo,
M. And L.C. Purcell. 1999. Soybean Root Morfological and Anatomical Traits
Associated with Acclimation to Flooding. Crop Sci. 39: 143-149.
Sairam,
R.K., D. Kamutha, K. Ezhilmathi, P.S. Deshmukh, and G.C. Srivastava. 2008.
Phisiology and Biochemistry of Water Logging Tolerance in Plants. Biol Plant
(52): 401-412.
Shannon,
J.G., W.E. Stevens, W.J. Wiebold, R.L. Mc Graw, D.A. Sleper, and H.T. Nguyen.
2005. Breeding Soybeans for Improved Tolerance to Floading. Proc. 350 Soybean
Seed Res. Conf. Am. Seed. Trade Assoc. Chichago.
Vantoai,
T.T., A.F. Beuerlein, S.K. Scjimit Thenner, and S.K. St Martin. 1994. Genetic
Variability for Flooding to Lerance in Soybeans. Crop Sci. 34: 1112-1115.
Wahyu,
A. 2007. Hubungan Air dan Tanaman. (On-line).
http://wahyuaskari.wordpress.com diakses
2 Mei 2012.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Faktor-faktor
yang menyebabkan produktivitas padi yang cenderung melandai (levelling off) salah satunya disebabkan
karena terjadinya penurunan jumlah lahan irigasi subur (intensif) akibat
konversi lahan untuk kepentingan non pertanian serta munculnya fenomena
degradasi kesuburan lahan.
Indonesia
diperkirakan memiliki 40-43 juta ha lahan bermasalah dan 13.2 juta ha dari
lahan itu terpengaruh salinitas. Lahan-lahan itu pada umumnya lahan pantai, muara
sungai, dan delta yang dipengaruhi oleh intrusi air laut.
Peningkatan
produksi padi ke depan akan banyak menghadapi tantangan yang semakin kompleks,
berkaitan dengan cekaman unsur hara dan iklim. Permasalahan yang tidak kalah
penting adalah kurangnya varietas yang toleran terhadap cekaman lingkungan,
terutama cekaman kadar garam (salin). Peningkatan produksi padi di lahan pasang
surut khususnya lahan marginal (salinitas tinggi) merupakan salah satu
alternatif yang potensial untuk dikembangkan.
B.
Tujuan
1. Mengetahui
respon dan perubahan pertumbuhan tanaman dalam kondisi cekaman garam
2. Mengetahui
genotipe tanaman yang toleran terhadap kelebihan garam
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Salinitas adalah
sebuah proses dimana garam yang terlarut dalam air terakumulasi dalam tanah. Kelebihan
garam dapat menghalangi pertumbuhan tanaman dengan cara menghalangi kemampuan
tanaman untuk menyerap air. Salinitas dapat terjadi secara natural karena kondisi
yang disebabkan oleh praktek pengolahan dan manajemen lahan pertanian salah
satunya adalah praktek irigasi (Materechera, 2011).
Proses yang
mempengaruhi keseimbangan air tanah dapat meberikan efek pada pergerakan
dan akumulasi kadar garam pada tanah. Proses-proses tersebut antara lain
adalah proses hidrologi, iklim, irigasi, peresapan (drainage), karakter
akar tanaman, dan praktek pertanian yang diterapkan. Proses salinisasi pada
permukaan tanah terjadi jika pada kondisi yang bersamaan pada munculnya garam
terlarut seperti sulfat, natrium, kalium yang terdapat pada tanah.
Adanya
kadar garam yang tinggi pada tanah memiliki efek yang mirip dengan
kekeringan dimana membuat air tanah menjadi kurang tersedia untuk diambil oleh
tanaman. Hanya beberapa tanaman saja yang mampu tumbuh pada tanah yang
bersalinitas tinggi, sehingga salinisasi sering membatasi pilihan tumbuhan yang
ditanam pada area tersebut. Salinisasi menurunkan derajat kualitas dari air
tanah dan sumber air tanah seperti rawa.
Salinitas selalu
diasosiasikan dengan kadar NaCl dalam tanah. Adanya kadar salinitas terlarut
pada tanah menyebabkan proses fotosintesis tanaman terganggu. Na+
dan Cl- dapat menghambat fotosintesis dan asimilasi karbohidrat.
Namun demikian, gejala kerusakan akibat Cl- muncul lebih awal
ketimbang Na+ (Mc Kersie dan Leshem, 1994).
Garam (NaCl)
mempunyai nilai osmosis yang tinggi. Kimball (1983), menyatakan bahwa osmosis
adalah difusi air melalui selaput yang permeabel secara differensial dari satu
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Keadaan osmosis tinggi (mengandung
garam) pada sel tumbuhan menyebabkan cekaman berupa plasmolisis (penyusutan) di
dalam sel tumbuhan, kecenderungan untuk terjadinya plasmolisis merupakan
perwujudan kisaran toleransi yang sempit. Menurut Adisyputra (2004), biji,
telur, embrio termasuk kecambah mempunyai kisaran toleransi yang lebih sempit
dibandingkan pada fase dewasa.
Stres garam
terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garam-garam terlarut yang
berlebihan dalam tanaman. Stres garam ini umumnya terjadi dalam tanaman pada
tanah salin. Stres garam meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam hingga
tingkat konsentrasi tertentu yang dapat mengakibatkan kematian tanaman.
Garam-garam yang menimbulkan stres tanaman antara lain ialah NaCl, NaSO4,
CaCl2, MgSO4, MgCl2 yang terlarut dalam air
(Sipayung, 2006). Stres akibat kelebihan Na+ dapat mempengaruhi beberapa proses
fisiologi dari mulai perkecambahan sampai pertumbuhan tanaman (Fallah, 2006).
Salinitas tidak
ditentukan oleh garam NaCl saja tetapi oleh berbagai jenis garam yang
berpengaruh dan menimbulkan stres pada tanaman. Tanaman mengalami stres garam
bila konsentrasi garam yang berlebih cukup tinggi sehingga menurunkan potensial
air sebesar 0,05 – 0,1 Mpa. (Lewit, dalam Sipayung, 2006).
III.
METODE
PRSKTIKUM
A.
Alat
dan Bahan
1. Alat
yang digunakan alat penyiram, kantong plastik, kertas label, penggaris, alat
tulis, timbangan analitik, oven, stirrer,
magnetic stirrer dan amplop
2. Bahan
yang digunakan benih padi dengan 3 varietas (mentik wangi, siak raya, dan
dendang)
B.
Rancangan
Lapang
Rancangan lapang
menggunakan RAKL diulang sebanyak tiga kali
C.
Prosedur
Kerja
1. Disiapkan
tanah sebgai media tanam, tanah dimasukkan kedalam polibag kemudian disiram
dengan air hingga mencapai kapasitas lapang. Polibag yang telah berisi tanah
dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama sebagai kontrol (S0) dan
kelompok kedua sebagai perlakuan salinitas (S1)
2. Benih
yang akan ditanam dipilih yang baik dan bernas
3. Tiap
polibag berisi 3 benih
4. Polibag
diletakkan sesuai dengan perlakuan yang sudah ditentukan yaitu dengan RAKL, dan
dilakukan ulangan sebanyak 3 kali
5. Tanaman
kontrol disiram mencapai kapasitas lapang
6. Tanaman
sebagai perlakuan cekaman salinitas dilakukan pada saat berumur 14 hari setelah
tanam dan perlakuan dilakukan dengan menyiapkan larutan garam NaCl. Garam NaCl
dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 5,7 DHL.
9. Pengamatan
dialakukan sampai akhir praktikum dengan mengamati tinggi tanaman, dan panjang
akar terpanjang
10. Tanaman
di oven selama 3 hari kemudian diukur bobot kering tanaman. Bobot keing tajuk,
bobot kering akar, dan rasio akar/tajuk
E.
Analisi
Data
(Terlampir)
IV.
Hasil
dan Pembahasan
A.
Hasil
Pengamatan
|
|
||||||||
|
|
||||||||
|
|
B.
Pembahasan
Salinitas adalah
sebuah proses dimana garam yang terlarut dalam air terakumulasi dalam tanah. Kelebihan
NaCl atau garam lain dapat mengancam tumbuhan karena:
1. Dapat
menurunkan potensial air larutan tanah, garam dapat menyebabkan kekurangan air
pada tumbuhan meskipun tanah tersebut mengandung banyak sekali air. Hal ini
karena potensial air lingkungan yang lebih negatif dibandingkan dengan
potensial air jaringan akar, sehingga akar akan kehilangan air bukan
menyerapnya.
2. Pada
tanah bergaram, natrium dan ion-ion tertentu lainnya dapat menjadi racun bagi
tumbuhan jika konsentrasinya relatif tinggi. Membran sel akar yang selektif
permeabel akan menghambat pengambilan sebagian besar ion yang berbahaya, akan
tetapi hal ini akan memperburuk permasalahan pengambilan air dari tanah yang
kaya akan zat terlarut (Campbell, 2003).
Salinitas
menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat pembesaran dan
pembelahan sel, produksi protein serta penambahan biomasa tanaman. Tanaman yang
mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk kerusakan
langsung tetapi pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara perlahan. Gejala
pertumbuhan tanaman pada tanah dengan tingkat salinitas yang cukup tinggi
adalah pertumbuhan yang tidak normal seperti daun mengering di bagian ujung dan
gejala khlorosis. Gejala ini timbul karena konsentrasi garam terlarut yang
tinggi menyebabkan menurunnya potensial larutan tanah sehingga tanaman
kekurangan air. Sifat fisik tanah juga terpengaruh antara lain bentuk struktur,
daya pegang air dan permeabilitas tanah.
Pertumbuhan sel
tanaman pada tanah salin memperlihatkan struktur yang tidak normal.
Penyimpangan yang terjadi meliputi kehilangan integritas membran, kerusakan
lamella, kekacauan organel sel, dan akumulasi Kalsium Oksalat dalam sitoplasma,
vakuola, dinding sel dan ruang antar sel. Kerusakan struktur ini akan
mengganggu transportasi air dan mineral hara dalam jaringan tanaman (Maas dan
Nieman, dalam Sipayung, 2006). Banyak tumbuhan dapat berespon terhadap
salinitas tanah yang memadai dengan cara menghasilkan zat terlarut kompatibel,
yaitu senyawa organik yang menjaga potensial air larutan tanah, tanpa menerima
garam dalam jumlah yang dapat menjadi racun. Namun demikian, sebagian besar
tanaman tidak dapat bertahan hidup menghadapi cekaman garam dalam jangka waktu
yang lama kecuali pada tanaman halofit, yaitu tumbuhan yang toleran terhadap
garam dengan adaptasi khusus seperti kelenjar garam, yang memompa garam keluar
dari tubuh melewati epidermis daun (Campbell, 2003).
Ketika terjadi
cekaman lingkungan seperti kekeringan, logam berat atau salinitas, tanaman
bereaksi dalam beragam cara untuk menghadapi perubahan yang berpotensi merusak.
Salah satu hasil dari tekanan tersebut adalah adanya akumulasi reactive
oxygen species (ROS) dalam tanaman, dimana hal tersebut dapat menghancurkan
tanaman dan berakibat pada berkurangnya produktivitas tanaman. ROS berdampak
pada fungsi seluler, seperti kerusakan pada asam nukleat atau oksidasi protein
tanaman yang penting.
Tabel
1. Varietas Padi Toleran Salinitas dan Toleran Keracunan Fe dan Al
Varietas
|
Umur
(hari)
|
Tekstur
nasi
|
Sifat
Penting Lain
|
Lalan
|
118-125
|
Pera
|
Cukup toleran
salinitas, cukup tahan hama wereng coklat biotipe 2 dan 3, cukup tahan
penyakit blas dan bercak coklat
|
Dendang
|
125
|
Pulen
|
Toleran
salinitas, Fe dan Al, agak tahan penyakit blas dan bercak coklat, cukup tahan
hama wereng coklat biptipe 1 dan 2
|
Lambur
|
115
|
Pulen
|
Agak toleran
salinitas, toleran keracunan Fe, tahan blas, tahan rebah
|
Mendawak
|
115
|
Pulen
|
Agak toleran keracunan
Fe, tahan rebah, agak tahan blas dan bercak daun coklat
|
Banyuasin
|
120
|
Pulen
|
Agak toleran
keracunan Fe, Al, dan tanah masam, agak tahan wereng coklat biotipe 3, blas
daun, bercak coklat daun, hawar daun bakteri strain III
|
Sumber : Chairunas, 2006.
Dari
hasil pengamatan yang telah dilakukan didapatkan suatu data bobot tanaman,
bobot akar, panjang akar dan bobot tajuk yang tidak berbeda nyata.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1. Pertumbuhan
sel tanaman pada tanah salin memperlihatkan struktur yang tidak normal.
Penyimpangan yang terjadi meliputi kehilangan integritas membran, kerusakan
lamella, kekacauan organel sel, dan akumulasi Kalsium Oksalat dalam sitoplasma,
vakuola, dinding sel dan ruang antar sel. Kerusakan struktur ini akan mengganggu
transportasi air dan mineral hara dalam jaringan tanaman.
2. Varietas
yang mampu bertahan pada kondisi cekaman ialah varietas dendang. Varietas
dendang Toleran salinitas, Fe dan Al, agak tahan penyakit blas dan bercak
coklat, cukup tahan hama wereng coklat biptipe 1 dan 2.
B.
Saran
Pada saat
melakukuan praktikum dilakukan dengan sungguh-sungguh agar bisa diperoleh data
yang benar dan bisa diketahui varietas mana yang tahan terhadap cekaman
genangan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisyahputra,
R dan Dwi. 2004. Karakterisasi Sifat Toleransi Terhadap Cekaman Kering Kacang
Tanah (Arachis hipogea. L) Varietas
Nasional Pada Tahap Perkecambahan. (On-line).
http://pk.ut.ac.id/Jmst/2007/adisyahputra
diakses 25 Mei 2012.
Campbell et al. 2003. Biologi Jilid 2.
Erlangga, Jakarta.
Fallah,
A.F. 2006. Perspektif Pertanian Dalam Lingkungan Yang Terkontrol. (On-line). http://io.ppi
jepang.org
diakses 5 Mei 2012.
Kimball. 1983. Biologi Jilid 1. Bandung.
IPB. Hal 114-116.
Sipayung,
R. 2006. Cekaman Garam. (On-line). http://library.usu.ac.id/download/fp/bdp-rosita2.pdf
diakses 25 Mei 2012.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pertumbuhan akan optimal apabila semua
komponen tersedia dalam jumlah yang seharusnya. Suhu, ketersediaan CO2,
dan cahaya merupakan unsur dalam kegiatan fotosintesis. Pada umumnya tumbuhan
daerah tropis tidak mampu melakukan fotosintesis pada suhu 5oC, maka
meskipun sinar ada, CO2 terpenuhi kegiatan fotosintesis akan terhambat
dalam hal ini dapat dikatakan bahwa temperatur merupakan faktor penghambat (limiting factor). Demikian pula CO2
terpenuhi, suhu optimum (antara 10-35 oC) tetapi sinar kurang banyak
maka fotosintesis juga akan menjadi terhambat, hal ini dikatakan bahwa sinar
juga menjadi faktor penghambat proses fotosintesis.
Faktor cahaya, suhu, CO2, air dan zat
hara mempengaruhi laju fotosintesis tanaman dan berpengaruh pada kepadatan
kanopi, ukuran dan bentuk daun serta sudut letak daun. Apabila lingkungan
subur, air tersedia dan suhu yang sesuai, maka radiasi merupakan faktor utama
yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman dan terdapat hubungan yang erat
antara radiasi dengan fotosintesis bersih.
B.
Tujuan
1. Mengetahui
respon dan perbedaan pertumbuhan tanaman dalam kondisi cekaman cahaya
(intensitas cahaya rendah)
2. Mengetahui
genotipe tanaman yang toleran terhadap cekaman cahaya
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Adanya naungan
kanopi dari tanaman yang lebih tinggi menyebabkan cahaya menjadi kendala utama
atau faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan kedelai. Penelitian aspek fisiologi seperti mekanisme adaptasi dan respon
pertumbuhan dan perkembangan kedelai terhadap cekaman naungan sudah didokumentasikan
dengan baik (Khumaida, 2002; Sopandie et al., 2006;
Kisman et al., 2007; Muhuria, 2007). Hal yang belum banyak dilaporkan adalah
respon tanaman kedelai terhadap cekaman naungan pada fase awal pertumbuhan.
Khusus pada
tahap awal pertumbuhan tanaman, cahaya merupakan faktor penting, karena selain
berperan dominan pada proses fotosintesis, juga sebagai pengendali, pemicu
dan modulator respon morfogenesis (McNellis dan Deng, 1995). Dalam mempelajari
pola perkembangan awal suatu tanaman tingkat tinggi terhadap kondisi cahaya penuh
(in light grown) dan tanpa cahaya (in dark grown), McNellis dan Deng
(1995) menjadikan tanaman kedelai sebagai tanaman contoh selain Arabidopsis
karena tanaman tersebut memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap cahaya, memiliki
ciri morfologi yang mudah diamati pada tahap awal perkembangannya dan yang tak
kalah pentingnya adalah karena tanaman kedelai termasuk tanaman yang tidak
efisien dalam penggunaan cahaya.
Berdasarkan
ketergantungannya terhadap cahaya (light
dependent), pola perkembangan suatu tanaman (tanaman tingkat tinggi) dapat
digolongkan menjadi pola skotomorfogenesis dan fotomorfogenesis (Staub dan
Deng, 1996; Sullivandan Gray, 1999). Pola skotomorfogenesis (etiolated)
merupakan pola perkembangan awal tanaman yang akibat tidak mendapatkan cahaya (indark-grown) secara terus menerus
selama perkecambahan, tanaman memiliki karakteristik: hipokotil panjang, apikal
hook, kotiledon yang tertutup, kandungan klorofil rendah, dan tingkat ekspresi
gen fotosintesis yang rendah. Hal ini karena terganggunya sistem kerja enzim
NADPH protoklorifillide oksidoreduktase (POR), enzim yang sangat tergantung
cahaya (light-dependent enzyme),
yang mereduksi protoklorifillide menjadi klorofillide sehingga proses
biosintesis klorofil menjadi terganggu (Holtorf,et al., 1995; Sundqvistdan
Dahlin, 1997). Pola fotomorfogenesis (deetiolated)
merupakan pola perkembangan awal tanaman yang selama perkecambahan mendapatkan
cahaya penuh terus menerus (in light-grown). Pola perkembangan ini dicirikan antara
lain hipokotil yang pendek, tidak mempunyai apikal hook, kedua kotiledon
membuka dan berkembang dengan baik, kandungan klorofil tinggi, dan tingkat
ekspresi genfotosintesis yang tinggi.
Pada kondisi
gelap (tidak ada cahaya) fotosintesis tidak berlangsung, tetapi respirasi terus
berlangsung. Peningkatan intensitas cahaya secara berangsur-angsur, diikuti
dengan peningkatan fotosintesis sampai pada batas terjadinya tingkat kompensasi
cahaya. Kompensasi cahaya adalah kondisi penyinaran di mana jumlah CO2 yang
digunakan pada proses fotosintesis sama dengan jumlah CO2 yang dikeluarkan pada
proses respirasi. Setiap jenis tumbuhan berbeda responsnya terhadap tingkat
intensitas cahaya (Anonim, 2009).
III.
METODE
PRAKTIKUM
A.
Alat
dan Bahan
1. Alat
yang digunakan alat Penyiram, kantong plastik, kertas label, penggaris, alat
tulis, timbangan analitik, lux meter,
oven, dan amplop
2. Bahan
yang digunakan benih kedelai dengan 3 varietas (raja basa, tidar dan mitani)
B.
Rancangan
Lapang
Rancangan
lapang menggunakan RAK diulang sebanyak tiga kali
C.
Prosedur
Kerja
1. Disiapkan
tanah sebgai media tanam, tanah dimasukkan kedalam polibag kemudian disiram
dengan air hingga mencapai kapasitas lapang. Polibag yang telah berisi tanah
dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama sebagai kontrol (N0) dan
kelompok kedua sebagai perlakuan naungan (N1)
2. Benih
yang akan ditanam dipilih yang baik dan bernas
3. Tiap
polibag berisi 3 benih
4. Polibag
diletakkan sesuai dengan perlakuan yang sudah ditentukan yaitu dengan RAK, dan dilakukan
ulangan sebanyak 3 kali
5. Tanaman
kontrol disiram mencapai kapasitas lapang
6. Tanaman
sebagai perlakuan cekaman cahaya dilakukan pada saat berumur 7 hari dan 21 hari
yaitu pada kontrol diletakkan di luar dan pada perlakuan tanaman diletakkan di
bawah naungan sebesar 65%
7. Setiap
3 hari sekali intensitas cahaya diukur dengan menggunakan lux meter sampai akhir pengamatan
8. Pengamatan
dialakukan sampai akhir praktikum dengan mengamati tinggi tanaman, dan panjang
akar terpanjang
9. Tanaman
di oven selama 3 hari kemudian diukur bobot kering tanaman. Bobot keing tajuk,
bobot kering akar, dan rasio akar/tajuk
D.
Analisi
Data
(Terlampir)
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Pengamatan
|
||||
|
||||
|
B.
Pembahasan
Reduksi cahaya
oleh naungan merupakan cekaman terhadap cahaya. Cekaman sebagai faktor apapun
yang secara potensial tidak sesuai bagi makluk hidup. Cekaman tersebut bisa
menimbulkan strain. Strain adalah suatu keadaan perubahan fisik atau kimia pada
makluk hidup akibat dikenai cekaman. Strai tersebut dapat bersifat elastis
artinya keadaan akan kembali semula jika strain dihilangkan. Cekaman yang besar
bisa menimbulkan strain permanen (plastis) yang berarti kerusakan atau bahkan
kematian pada organisme.
Intensitas
cahaya rendah merupakan suatu kondisi yang membatasi cahaya yangditerima oleh
tanaman yang ada dibawahnya baik dari segi kualitas maupun kuantitas.Menurut Salisbury dan Ross (1992), cahaya matahari mempunyai
peranan besar dalam
proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan
dan perkembangan, menutup
dan membukanya stomata, dan perkecambahan
tanaman.Cahaya matahari berperan penting dalam metabolisme tanaman
hijau, sehinggaketersediaan cahaya matahari
menentukan tingkat produksi tanaman.
Tanaman hijaumemanfaatkan cahaya
matahari melalui proses
fotosintesis. Intensitas cahaya
rendahmerupakan
salah faktor yang membatasi proses fotosintesis.
Adaptasi
terhadap kondisi naungan berat dapat dicapai apabila tanaman memiliki mekanisme
penangkapan dan penggunaan cahaya secara efisien. Mekanisme tersebut dapat
melalui penghindaran dengan cara meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya dan
toleran dengan cara menurunkan titik kompensasi cahaya dan laju respirasi
(Levitt, 1980 dalam Muhuria, 2006). Selanjutnya, (Hale dan Orchut, 1987 dalam
Muhuria,2006) menjelaskan bahwa kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman
intensitas cahaya rendah pada umumnya tergantung pada kemampuannya melanjutkan
fotosintesis dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Kemampuan tersebut
diperoleh melalui peningkatan luas daun sebagai cara mengurangi penggunaan
metabolit serta mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan yang direfleksikan.
Peningkatan luas daun selain memungkinkan peningkatan luas bidang tangkapan,
juga menyebabkan daun menjadi lebih tipis karena sel-sel palisade hanya terdiri
dari satu atau dua lapis (Khumaida, 2002; Muhuria et al, 2006). Dalam kondisi
demikian, kloroplas akan terorientasi pada permukaan daun bagian atas secara
paralel sehingga daun tampak lebih hijau. Khusus pada tahap awal pertumbuhan
tanaman, cahaya merupakan faktor penting karena selain berperan dominan pada
proses fotosintesis juga sebagai pengendali, pemicu dan modulator respon
morfogenesis (McNellis dan Deng, 1995).
Keuntungan
dari cahaya matahari terhadap tumbuhan:
1. Cahaya
merupakan Faktor esensial pertumbuhan dan perkembangan,
2. Cahaya
memegang peranan penting dalam proses fisiologis tanaman, terutama
fotosintesis, respirasi, dan transpirasi,
3. Fotosintesis
adalah sebagai sumber energi bagi reaksi cahaya, fotolisis air menghasilkan
daya asimilasi,
4. Cahaya
matahari ditangkap daun sebagai foton. Tidak semua radiasi matahari mampu
diserap tanaman, cahaya tampak, dg panjang gelombang 400 s/d 700 nm,
5. Cahaya yang
diserap daun 1-5% untuk fotosintesis, 75-85% untuk memanaskan daun dan
transpirasi, dan
6. Peranan
cahaya dalam respirasi, fotorespirasi, menaikkan suhu (Raditya, 2009).
Tanaman
membutuhkan radiasi cahaya matahari sebagai sumber energi untuk menggerakkan
proses-proses biokimia dalam fotosintesis. Naungan membuat ketersediaan cahaya,
terutama intensitas berkurang. Dalam keadaan ternaungi cahaya menjadi faktor
pembatas. Perbedaan karakteristik tanaman diatur oleh gen yang ada pada tanaman
sehingga menyebabkan tanaman bisa beradaptasi dengan lingkungan berbeda-beda.
Walaupun sumber
cahaya sama adalah matahari, namun banyaknya penyerapan energi matahari oleh
sehelai daun bisa berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan antara lain oleh
halangan awan di atmosfer, naungan diatas tanaman, atau bahkan oleh bagian
tanaman yang lain.
Naungan pada
kedelai menunjukkan bahwa reduksi cahaya menjadi 40% sejak perkecambahan sampai
panen menurunkan jumlah buku, cabang, diameter batang, jumlah polong, dan hasil
biji kedelai. Perlakuan tersebut pada awal pengisian polong menurunkan jumlah
polong, hasil biji, dan kandungan protein biji (Baharsjah et al., 1985).
Penelitian
tentang naungan juga dilaporkan oleh Sunarlim (1985). Naungan pada penelitian
tersebut menyebabkan antara lain kenaikan kandungan klorofil daun dan bobot 100
biji, penurunan jumlah polong, dan produksi biji pertanaman. Penelitian ini
menunjukkan bahwa naungan tidak mempengaruhi kadar N daun, bobot spesifik daun
secara nyata. Namun, penelitian ini belum membedakan respon yang berbeda antar
genotipe yang berbeda ketenggangannya.
Dari hasil
pengamatan yang telah dilakukan dalam praktikum, pada tanaman sebagai kontrol
dan tanaman yang ternaungi tinggi tanaman, bobot kering tajuk, bobot kering
akar, panjang akar, bobot tanaman menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Hal ini menunjukkan bahwa repon tanaman tidak berpengaruh penting pada sifat
morfologisnya, dan kita juga belum mengetahui hasil yang akan diterima ketika
kedelai telah mampu menghasilkan biji.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1. Kemampuan
tanaman dalam mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah pada umumnya
tergantung pada kemampuannya melanjutkan fotosintesis dalam kondisi intensitas
cahaya rendah. Kemampuan tersebut diperoleh melalui peningkatan luas daun
sebagai cara mengurangi penggunaan metabolit serta mengurangi jumlah cahaya
yang ditransmisikan dan yang direfleksikan.
2. Varietas
kedelai yang tahan terhadap cekaman cahaya yaitu Raja Basa.
B.
Saran
Pada saat
melakukuan praktikum dilakukan dengan sungguh-sungguh agar bisa diperoleh data
yang benar dan bisa diketahui varietas mana yang tahan terhadap cekaman cahaya
(Intensitas cahaya rendah).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Faktor-Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Fotosintesa. http://nasagrouh.blogspot.com/2009/11/faktor-faktor-lingkungan-yang.html diakses 24 Mei 2012.
Holtorf, H., S. Reinbothe, C. Reinbothe, B. Bereza, and K. Apel. 1995. Two routes of chlorophyllide synthesis that are differentially regulated by light in barley (Hordeum vulgare L.). Proc. Natl. Acad. Sci. USA, 92:3254-3258.
Kisman, N. Khumaida, Trikoesoemaningtyas, Sobir, D. Sopandie. 2007. Karakter Morfo- Fisiologi Daun, Penciri Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Bul. Agron. 35:96-102.
McNellis, T.W. and X.W. Deng. 1995. Light control of seedling morphogenetic pattern. The Plant Cell, 7:1749-1761.
Muhuria L. 2007. Mekanisme fisiologi dan pewarisan sifat toleransi kedelai (Glycine max L. Merrill) terhadap intensitas cahaya rendah [disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Staub, J.M. and X.W. Deng. 1996. Light signal transduction in plants. Photochem Photobiol 64: 897-905.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di Indonensia, kedelai
merupakan komoditas strategis ketiga setelah padi dan jagung, karena setiap
hari dikonsumsi oleh hampir sebagian masyarakat dengan tingkat konsumsi
rata-rata 8,12 kg/kapita/tahun. Produksi kedelai di Indonesia sejak tahun 1995
cederung mengalami penurunan. Produksi kedelai tahun 2006 dan 2007
masing-masing mencapai 795.340 dan 782.530 ton, dan tahun 2009 diperkirakan turun
menjadi 757.540 ton.
Salah satu hambatan dalam
peningkatan dan stabilisasi produksi kedelai di Indonesia adalah serangan
penyakit karat daun yang disebabkan oleh cendawan Phakopsora pachyrhizi.
Penyakit karat (P. pachyrhizi)
merupakan penyakit utama pada tanaman kedelai di Indonesia di samping penyakit
lain yaitu pustul bakteri yang disebabkan oleh Xanthomonas axonopodis, antraknose yang disebabkan oleh jamur
Colletotrichum dematium var truncatum. Penyakit tersebut dapat dikendalikan
dengan memadukan berbagai teknik pengendalian, antara lain menaman varietas
tahan, cendawan antagonis (Verticillium
sp.), dan fungisida nabati (minyak cengkeh).
B.
Tujuan
1. Mengetahui
respon dan perubahan pertumbuhan tanaman dalam kondisi cekaman biotik (penyakit
karat daun kedelai Phakopsora pachyrhizi)
2. Mengetahui
genotipe tanaman yang toleran terhadap penyakit karat daun kedelai
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Salah
satu hambatan dalam peningkatan dan stabilisasi produksi kedelai di Indonesia
adalah serangan penyakit karat daun yang disebabkan oleh cendawan Phakopsora
pachyrhizi. Penyakit karat telah tersebar luas di sentra produksi dedelai di
dunia. Di Indonesia, penyakit karat terdapat di sentra produksi kedelai di
Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan dan Sulawesi (Semangun,
1991).
Penyakit karat
yang disebabkan jamur Phakopspora pachyrhizi merupakan penyakit penting pada
kedelai. Penyakit karat dapat menurunkan hasil karena daun-daun yang terserang
akan mengalami defoliasi lebih awal sehingga akan mengakibatkan berkurangnya
berat biji dan jumlah polong yang bervariasi antara 10-90%, tergantung pada
fase perkembangan tanaman, lingkungan dan varietas kedelai (Sinclair dan
Hartman, 1999).
Kehilangan hasil
akibat penyakit karat di Indonesia mencapai 90% (Sudjono, 1979). Besarnya
kehilangan hasil bergantung pada berbagai faktor antara lain ketahanan tanaman.
Pada varietas Orba, kehilangan hasil dapat mencapai 36%, sedangkan pada
varietas TK-5 sebesar 81% (Sumarno dan Sudjono, 1977).
Gejala
kerusakan tanaman akibat serangan penyakit karat kedelai adalah terdapatnya
bintik-bintik kecil yang kemudian berubah menjadi bercak-bercak berwarna coklat
pada bagian bawah daun, yaitu uredium penghasil uredospora. Serangan berat
menyebabkan daun gugur dan polong hampa. Terjadi bercak- bercak kecil berwarna
cokelat kelabu atau bercak yang sedikit demi sedikit berubah menjadi cokelat
atau coklat tua. Bercak karat terlihat sebelum bisul- bisul (pustule) pecah.
Bercak tampak bersudut-sudut karena dibatasi oleh tulang-tulang daun tepatnya
didekat daun yang terinfeksi. Biasanya dimulai dari daun bawah baru kemudian ke
daun yang lebih muda.
Cendawan
P. pachyrhizi merupakan parasit obligat. Jika di lapangan tidak terdapat
tanaman kedelai, spora hidup pada tanaman inang lain. Spora hanya bertahan 2
jam pada tanaman bukan inang. Spora tidak dapat bertahan pada kondisi kering,
jaringan mati atau tanah. Jika tidak ada tanaman kedelai, gulma yang termasuk
ke dalam famili Leguminosae dapat menjadi tanaman inang alternatif. Dari 27
jenis tanaman Leguminosae yang diuji, tujuh di antaranya menunjukkan reaksi
hipersensitif sehingga infeksi pada tanaman tersebut tidak menghasilkan spora.
Sudjono (1979) menyatakan bahwa dari 17 jenis tanaman kacang-kacangan selain
kedelai yang diinokulasi secara buatan, tiga di antaranya menunjukkan gejala
yang bersporulasi, yaitu kacang asu, kacang kratok, dan kacang panjang. Oleh
karena itu, keberadaan tanaman tersebut perlu diwaspadai.
Varietas
yang toleran dapat terinfeksi patogen karat, tetapi masih dapat menghasilkan
biji. Varietas dengan kategori agak tahan memiliki ketahanan terhadap penyakit
karat yang berada antara tahan dan agak rentan. Apabila menanam varietas yang
agak tahan, perlu dipadukan dengan cara pengendalian lain, misalnya dengan
fungisida nabati (Sumartini. 2010).
III.
METODE
PRAKTIKUM
A.
Alat
dan Bahan
1. Alat
yang digunakan alat penyiram, kantong plastik, kertas label, penggaris, alat
tulis, timbangan analitik, gelas ukur, oven, dan amplop
2. Bahan
yang digunakan benih kedelai dengan 3 varietas (raja basa, tidar, dan mitani)
B.
Rancangan
Lapang
Rancangan
lapang menggunakan RAK diulang sebanyak tiga kali
C.
Prosedur
Kerja
1. Disiapkan
tanah sebgai media tanam, tanah dimasukkan kedalam polibag kemudian disiram
dengan air hingga mencapai kapasitas lapang. Polibag yang telah berisi tanah
dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama sebagai kontrol (P0) dan
kelompok kedua sebagai perlakuan cekaman biotik penyakit karat daun kedelai (P1)
2. Benih
yang akan ditanam dipilih yang baik dan bernas
3. Tiap
polibag berisi 3 benih
4. Polibag
diletakkan sesuai dengan perlakuan yang sudah ditentukan yaitu dengan RAK, dan
dilakukan ulangan sebanyak 3 kali
5. Tanaman
kontrol tidak diberi inokulum Phakopsora
pachyrhizi
6. Tanaman
sebagai perlakuan diberi inokulum Phakopsora
pachyrhizi
7. Pengamatan
dialakukan setiap hari dengan mengamati gejala penyakit karat daun dan setelah
muncul diukur intensitas penyakitnya
8. Tanaman
di oven selama 3 hari kemudian diukur bobot kering tanaman. Bobot keing tajuk,
bobot kering akar, dan rasio akar/tajuk
D.
Analisi
Data
(Terlampir)
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Pengamatan
|
|
|
|
|
|
||||||||||||
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
B.
Pembahasan
Penyakit yang disebabkan oleh cendawan Phakopsora
pachyrhizi berasal dari kelompok Basidiomycetes. Phakopsora pachyrizhy
mempunyai uredium pada sisi bawah dan atas daun, coklat muda sampai coklat,
bergaris tengah 100-200 µm, sering tersebar merata memenuhi permukaan daun.
Parafisa pangkalnya bersatu, membentuk penutup yang mirip dengan kubah diatas
uredium. Parafisa membengkok dan berbentuk gada atau mempunyai ujung
membengkak, hialin atau berwarna jerami dengan ruang sel sempit. Ujungnya
berukuran 7,5-15µm dengan panjang 20-47µm. Uredium bentuknya mirip dengan
gunung api kecil yang dibentuk di bawah epidermis, jika dilihat dari atas
berbentuk bulat atau jorong. Di pusat bagian uredium yang menonjol berbentuk
lubang yang menjadi jalan keluarnya urediospora. Urediospora membulat pendek,
bulat telur atau jorong, hialin sampai coklat kekuningan, dengan dinding tebal
yang hialin dan berduri halus.
Penyebaran penyakit karat daun ini
melalui spora yang diterbangkan oleh angin, melalui tanah, air dan tanaman
inang. Patogen ini tidak dapat bertahan di dalam biji karena termasuk cendawan
obligat dan tidak dapat ditularkan melalui benih.
Akibat serangan cendawan ini proses
fotosintesis terganggu karena daun tidak berfungsi sebagaimana fungsinya dapat
menurunkan hasil produksi sebesar 20-80 %. Penurunan hasil bisa mencapai 100%
bila varietas yang ditanam rentan terhadap karat daun dan dibudidayakan sewaktu
musim hujan dalam keadaan cuaca yang lembab serta tanaman dalam kondisi
tergenang (Khaerunisa, 2010).
Tabel 1. Karakter unggul varietas kedelai yang dilepas 10 tahun
terakhir (1995-2005)
Varietas
|
Umur
(hari)
|
Poten hasil
(t/ha)
|
Ketahanan terhadap
penyakit karat
|
Tidar
Dieng
Malabar
Meratus
Sinabung
Tanggamus
Argomulyo
Burangrang
Wilis
Manglayang
Kaba
Sinabung
Anjasmoro
Rajabasa
|
75
76
70
75
88
88
79
79
85
86
85
88
82
85
|
1,40
1,70
1,30
1,40
2,16
2,50
2,00
2,00
1,60
1,90
2,10
2,20
2,0
3,90
|
Agak tahan
Agak tahan
Agak tahan
Agak tahan
Agak tahan
Agak tahan
Agak tahan
Toleran
Agak tahan
Agak tahan
Agak tahan
Agak tahan
Agak tahan
Tahan
|
Sumber:
Balitkabi 2007
Ketahanan
berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk mencegah, menghambat atau memperlambat
perkembangan penyakit (Bell, 1982). Suatu ketahanan genetik mempunyai nilai yang
lebih berarti dalam mengendalikan penyakit tanaman, bila ketahanan genetik tersebut
mampu memberikan perlindungan yang baik dan menyeluruh dari kemungkinan kerusakan
yang diakibatkan oleh penyakit (Baswarsiati, 1994).
Fanani dkk.
(1981), mengemukakan bahwa ketahanan kedelai terhadap penyakit karat berupa
ketahanan morfologis yang disebabkan adanya bulubulu daun (trichoma) yang lebih
rapat dan jaringan kutikula yang tebal sehingga sulit terinfeksi oleh patogen.
Hasil pengamatannya menunjukkan bahwa tanaman- tanaman yang agak tahan daunnya lebih
kaku dan warnanya lebih gelap sedangkan pada yang peka daunnya agak lemas dan
warnanya lebih terang.
Dari hasil
pengamatan yang telah dilakukan intensitas penyakit pada kedelai antar varietas
tidak menunjukkan perbedaan nyata. Seharusnya menunjukkan perbedaan yang nyata
karen varietas rajabasa ialah varietas yang tahan terhadap penyakit karat daun.
Sedangkan pada bobot kering tanaman menunjukkan perbedaan antara blok 1 dan
blok 3 dengan blok 2, hal ini terjadi karena perlakuan yang tidak sama antar
blok. Seharusnya pada tiap blok sama, dan yang mungkin tidak sama seharusnya
pada varietas, hal ini dimungkinkan karena praktikan yang kurang berhati-hati
dan cermat dalam memberi inokulum.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1. Ketahanan
kedelai terhadap penyakit karat berupa ketahanan morfologis yang disebabkan
adanya bulubulu daun (trichoma) yang lebih rapat dan jaringan kutikula yang
tebal sehingga sulit terinfeksi oleh patogen.
2. Varietas
yang tahan ialah rajabasa toleran terhadap penyakit karat daun.
B.
Saran
Pada saat
melakukuan praktikum dilakukan dengan sungguh-sungguh agar bisa diperoleh data
yang benar dan bisa diketahui varietas mana yang tahan terhadap cekaman biotik
penyakit karat daun kedelai.
DAFTAR
PUSTAKA
Balai
Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2007. Panduan umum pengelolaan tanaman terpadu kedelai. Puslitbangtan.
Balitbangtan. 54 hal.
Khaerunisa,
R. 2010. Karat Daun pada Kedelai. (On-line).
http://rizkihaerunisa1009.wordpress.com/2010/06/20/karat-daun-pada-kedelai/ diakses
25 Mei 2012.
Semangun
H. 1991. Penyakit-penyakit tanaman pangan
di Indonesia. Gadjah Mada University Poress, Yogyakarta. 449 hal.
Sinclair,
J.B. and G.L. Hartman. 1999. Soybean Rust. In G.L. Hartman, J.B. Sinclair, J.C.
Rupe (Eds.) Compendium of Soybean Diseases (Fourth Edition). APS Press The
American Phytopathological Society. p.25-26.
Sudjono,
M.S. 1979. Ekobiologi cendawan karat
kedelai dan resistensi varietas kedelai. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 60 hal.
Sumarno
dan S. Sudjono. 1977. Breeding for soybean rust resistance in Indonesia. P.
66-70. Report of Workshop on Rust of Soybean Problem and Research Needs.
Manila.
Sumartini.
2010. Penyakit karat pada kedelai dan cara pengendaliannya yang ramah
lingkungan. Jurn Penel dan Pengemb Pert. Indonensian Agricultural Research and
Development Journal: 29(3).
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menurut para pakar hama dan penyakit tanaman,
penyakit kresek ini bisa diantisipasi dengan budidaya tanaman secara sehat.
Beberapa perlakuan yang dapat dilakukan antara lain adalah:
1.
Menggunakan benih
unggul dengan varietas tahan penyakit hawar daun bakteri
2. Jarak
tanam yang tidak terlalu rapat sehingga mengurangi kelembaban lingkungan
sekitar tanaman
3. Pengurangan
penggunaan
pupuk urea agar tanaman tidak sukulen
sehingga batang dan daun menjadi lunak yang menjadikannya mudah terserang
penyakit
4. Mengaplikasi
tanaman padi dengan Corine
bacterium. Telah diketahui bahwa
Corine bakaterium adalah musuh utama
dan pemangsa bakteri Xanthomonas oryzae sebagai
penyebab hawar daun bakteri pada tanaman padi.
B.
Tujuan
1. Mengetahui
respon dan perubahan pertumbuhan tanaman dalam kondisi cekaman biotik (penyakit
kresek X. Oryzae pv. oryzae)
2. Mengetahui
genotipe tanaman yang toleran terhadap penyakit kresek
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Penyakit hawar
daun bakteri merupakan penyakit yang tersebar luas di pertanaman padi sawah dan
bisa menurunkan hasil sampai 36%. Penyakit ini pada umumnya terjadi pada musim
hujan atau lembab >75%, terutama pada lahan sawah yang selalu tergenang
dengan pemupukan N yang tinggi. Hawar daun bakteri merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae
pv. Oryzae Dye. yang dapat
menginfeksi tanaman padi pada berbagai stadium pertumbuhan (Anonim, 2010).
Penyakit pada
tanaman padi dengan gejala daun mengering mulai dari tepi daun kemudian meluas
hingga ketulang tengah daun, jika terjadi serangan akut seluruh helaian daun
bisa mengering seluruhnya. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Xanthomonas sp (Maspary, 2010).
Gejala layu yang
kemudian dikenal dengan nama kresek umumnya terdapat pada tanaman muda berumur
1-2 minggu setelah tanam atau tanaman dewasa yang rentan. Pada awalnya gejala
terdapat pada tepi daun atau bagian daun yang luka berupa garis bercak
kebasahan, bercak tersebut meluas berwarna hijau keabu-abuan, selanjutnya
seluruh daun menjadi keriput dan akhirnya layu seperti tersiram air panas.
Seringkali bila air irigasi tinggi, tanaman yang layu terkulai ke permukaan air
dan menjadi busuk. pada tanaman yang peka terhadap penyakit ini, gejala terus
berkembang hingga seluruh permukaan daun, bahkan kadang-kadang pelepah padi
sampai mengering. Pada pagi hari atau cuaca lembab, eksudat bakteri sering
keluar ke permukaan bercak berupa cairan berwarna kuning menempel pada
permukaan daun dan mudah jatuh oleh hembusan angin, gesekan daun atau percikan
air hujan. Eksudat ini merupakan sumber penularan yang efektif (Anonim, 2010).
Penyakit kresek disebabkan oleh
bakteri, mereka bersifat sistemik artinya mereka tumbuh dan berkembang didalam
jaringan pengangkutan utama pada tanaman. Pada saat tanaman terinfeksi bakteri,
bakteri tersebut terangkut keseluruh bagian tanaman dan pada saat itu daun yang
luas juga akan terinfeksi. Sehingga ujung daun dan bagian tepi daun serta
daerah - daerah jaringan pengangkutan berubah warnanya menjadi kuning kemudian
coklat.
Pertumbuhan bakteri menyumbat
saluran pembuluh tersebut sehingga air dan zat makanan tidak dapat masuk
kedalam atau keluar ujung daun, sehingga meyebabkan gejala kekuningan, layu dan
mati pada bagian ujung daun. Pada pesemaian penyakit tersebut menyebabkan daun
menjadi kuning dan akhirnya kering dan mati. Penyakit ini dapat merusak tanaman
yang telah ditanam disawah. Keadaan seluruh daun tanaman yang muda yang tampak
menguning dan mengering dapat dikira serangan sundep atau penggerek batang.
Pada tanaman tua, bagian tepi ujung daun menjadi kuning dan menguningnya
jaringan tersebut meluas kedaun bagian bawah, akhirnya ujung daun menjadi
kering dan berwarna putih.
Dampak
Serangan, bagian pucuk Tanaman dan tepi daun akan mengering,
sehingga proses fotosintesa tidak dapat maksimal, sehingga produksi yang
dicapai tidak maksimal, berat gabah kurang bernas/ mentes, banyak butir hijau
dan butir hampa, gabah warnanya menjadi kusam, tidak mengkilat (Wibowo, 2012).
III.
METODE
PRAKTIKUM
A.
Alat
dan Bahan
1. Alat
yang digunakan alat Penyiram, kantong plastik, kertas label, penggaris, alat
tulis, timbangan analitik, oven, dan amplop
2. Bahan
yang digunakan benih padi dengan 3 varietas (mentik wangi, siak raya, dan dendang)
B.
Rancangan
Lapang
Rancangan
lapang menggunakan RAK diulang sebanyak tiga kali
C.
Prosedur
Kerja
1. Disiapkan
tanah sebgai media tanam, tanah dimasukkan kedalam polibag kemudian disiram
dengan air hingga mencapai kapasitas lapang. Polibag yang telah berisi tanah
dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama sebagai kontrol (X0) dan
kelompok kedua sebagai perlakuan biotik penyakit kresek daun padi (X1)
2. Benih
yang akan ditanam dipilih yang baik dan bernas
3. Tiap
polibag berisi 3 benih
4. Polibag
diletakkan sesuai dengan perlakuan yang sudah ditentukan yaitu dengan RAK, dan
dilakukan ulangan sebanyak 3 kali
11. Tanaman
kontrol tidak diberi inokulum X. Oryzae pv.
Oryzae
12. Tanaman
sebagai perlakuan diberi inokulum X.
Oryzae pv. Oryzae
13. Pengamatan
dialakukan setiap hari dengan mengamati gejala penyakit kresek daun dan setelah
muncul diukur intensitas penyakitnya
14. Tanaman
di oven selama 3 hari kemudian diukur bobot kering tanaman. Bobot keing tajuk,
bobot kering akar, dan rasio akar/tajuk
5.
Analisi
Data
(Terlampir)
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Pengamatan
|
|
|
|
|
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||
|
|
|
|
|
|
B.
Pembahasan
Dampak
Serangan bagian pucuk tanaman dan tepi daun akan mengering,
sehingga proses fotosintesa tidak dapat maksimal, sehingga produksi yang
dicapai tidak maksimal, berat gabah kurang bernas/ mentes, banyak butir hijau
dan butir hampa, gabah warnanya menjadi kusam, tidak mengkilat.
Penyakit kresek disebabkan oleh
bakteri Xanthomonas
oryzae pv. Oryzae
Dye. yang dapat menginfeksi tanaman padi pada berbagai stadium pertumbuhan. Pertumbuhan
bakteri menyumbat saluran pembuluh tersebut sehingga air dan zat makanan tidak
dapat masuk kedalam atau keluar ujung daun, sehingga meyebabkan gejala
kekuningan, layu dan mati pada bagian ujung daun. Pada pesemaian penyakit
tersebut menyebabkan daun menjadi kuning dan akhirnya kering dan mati.
Infeksi penyakit
ini biasanya terbatas pada helaian daun saja. Gejala yang timbul berupa
bercak sempit berwarna hijau gelap yang lama-kelamaan membesar berwarna
kuning dan tembus cahaya diantara pembuluh daun. Sejalan dengan berkembangnya
penyakit, bercak membesar, berubah menjadi berwarna coklat dan berkembang
menyamping melampaui pembuluh daun yang besar. Seluruh daun varietas yang
rentan bisa berubah warna menjadi coklat dan mati. Pada keadaan ideal untuk infeksi,
seluruh pertanaman menjadi berwarna oranye kekuning-kuningan. Bakteri memasuki
tanaman melalui kerusakan mekanik atau melalui terbukanya sel secara alami.
Butir-butir embun yang mengandung bakteri akan muncul pada permukaan daun.
Hujan dan angin membantu penyebaran penyakit ini. Stadia tanaman yang paling
rentan adalah dari fase anakan sampai stadia pematangan. Pada infeksi yang
berat, kehilangan hasil dapat mencapai 30% (Fardenan, 2011).
Tabel 1. Varietas Padi yang Tahan terhadap Penyakit
Kresek
Varietas
|
Tahun Pelepasan
|
Membramo
|
1995
|
Cibodas
|
1995
|
Maros
|
1996
|
Way Aao
Buru
|
1998
|
Sintanur
|
2001
|
Cimelati
|
2001
|
Sinqkil
|
2001
|
Conde
|
2001
|
Anqke
|
2001
|
Konawe
|
2001
|
Ciuiuno
|
2001
|
Wera
|
2001
|
Intani
|
2001
|
Sunggal
|
2002
|
Ketan
Hitam
|
2002
|
Impari
1
|
2008
|
Impari
6 Jete
|
2008
|
Sumber : Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi
Dari hasil
pengamatan yang telah dilakukan didapatkan suatu hasil tinggi tanaman yang
tidak berbeda nyata. Sedangkan pada bobot kering tanaman didapatkan V3
(Dendang) berbeda nyata dengan V1 (Mentik Wangi) dan V2 (Siak Raya), tetapi V2
(Siak Raya) tidak berbeda dengan V1(Mentik Wangi). Pada bobot kering tajuk dan
bobot kering akar didapatkan kesimpulan V1 (Mentik Wangi) berbeda nyata dengan
V3 (Dendang), dan V2 (Siak Raya) tidak berbeda nyata dengan V3 (Dendang) dan V1
(Mentik Wangi). Pada Intensitas penyakit didapatkan sebuah kesimpulan V3
(Dendang) berbeda nyata dengan V2 (Siak Raya) dan V1 (Mentik Wangi), tetapi V2
(Siak Raya) tidak berbeda dengan V1 (Mentik Wangi).
Pada tanaman
yang terkena penyakit kresek daunnya menjadi kecokelatan, dan tidak segar
seperti tanaman yang tidak terkena penyakit kresek.
V.
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1.
Dampak
Serangan bagian pucuk tanaman dan tepi daun akan mengering,
sehingga proses fotosintesa tidak dapat maksimal, sehingga produksi yang
dicapai tidak maksimal, berat gabah kurang bernas/ mentes, banyak butir hijau
dan butir hampa, gabah warnanya menjadi kusam, tidak mengkilat.
2.
Varietas yang tahan dari hasil
pengamatan kami ialah varietas padi Dendang.
B. Saran
Pada saat
melakukuan praktikum dilakukan dengan sungguh-sungguh agar bisa diperoleh data
yang benar dan bisa diketahui varietas mana yang tahan terhadap cekaman biotik
penyakit kresek.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
2010. Penyakit Hawar Daun Bakteri. (On-line).
http://www2.bbpp-lembang.info/index.php?option=com_content&view=article&id=516&Itemid=304 diakses
25 Mei 2012.
Fardenan,
D. 2011. Masalah Lapang Hama, Penyakit, Hara Pada Padi. (On-line). http://www.scribd.com/doc/62379222/Buklet-Hama-Penyakit-Padi
diakses 25 Mei 2012.
Maspary.
2010. Mengendalikan Penyakit Kresek Pada Tanaman Padi Dengan Budidaya Tanaman
Sehat. (On-line). http://www.gerbangpertanian.com/2010/03/mengendalikan-penyakit-kresek-pada.html
diakses 25 Mei 2012.
Wibowo.
2012. Penyakit Kresek ( Bakteri Hawar Daun ). (On-line). http://cybex.deptan.go.id/lokalita/penyakit-kresek-bakteri-hawar-daun
diakses 25 Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar